Pandemic of COVID-19 telah membawa perubahan aspek kehidupan bagi setiap insan di dunia. Yang tadinya giat bangun pagi untuk bekerja demi sesuap nasi. Sekarang, dianjurkan untuk tetap berada di rumah karena kehadiran virus ini.
Masih banyak yang bertanya-tanya, " Kapan pandemi ini akan segera usai?" ,"Kapan pengangguran di dunia ini akan menipis?" dan lain-lain. Banyak para peneliti dari berbagai negara yang menjawab pertanyaan ini dengan jawaban yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa pandemic ini akan berakhir pada Maret 2020. Ada juga yang mengatakan bahwa pandemi ini akan berakhir 7 tahun lagi. Masih banyak lagi, dan kita tidak tahu lagi akan kepastiannya. Akibat dari pandemi, tahun 2020 adalah tahun yang penuh dengan kemalangan dan rintikan air mata. Ribuan jiwa telah melayang. Ribuan karyawan telah di-PHK.
Banyak juga cendekiawan dan peneliti mencari berbagai cara untuk memulihkan ekonomi nasional. Menurut saya, salah satunya adalah restrukturisasi kredit. Negara yang menerapkan langkah ini adalah Hongkong dan Jepang. Hongkong telah menerapkan kebijakan ini pada 13 Februari 2020, dengan menurunkan pemenuhan CCB dari 2% hingga 1%. Sedangkan, di Jepang, beberapa debitur diberikan kredit tanpa jaminan.
Di Indonesia, kebijakan ini sudah diterapkan pada 16 Maret 2020. Kebijakan ini tertuang dalam POJK 11/POJK.03/2020, yang membantu para pelaku usaha UMKM dalam permodalannya. Dari segi ekonomi makro, kebijakan ini tergolong kedalam kebijakan countercylical. Dengan adanya kebijakan ini, 5,9 juta debitur yang memiliki UMKM terselamatkan.
Kebijakan ini memiliki efek sampingnya apabila dihadapi uncertainty. Saya pun jadi berpikir-pikir mendengar fakta ini.
Apa yang terjadi pada UMKM di Indonesia apabila pandemi tidak berujung?
Apakah semua bank mampu mengelola cadangan minimunnya dalam menghadapi risiko restrukturisasi kredit?
Apakah sektor UMKM harus diutamakan dalam RPJMN tahun 2020-2024?
Itu saja hal-hal yang ada dalam benak pikiran saya. Saya mengharapkan saran dan kritik dari pembaca.
Sekian.