Lihat ke Halaman Asli

Hallasurra AC

mahasiswa

Perlindungan Karyawan Jika Terjadi Pemecatan Sepihak

Diperbarui: 12 Oktober 2022   11:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karyawan di PHK (Foto :Shutterstock)

Hubungan kerja adalah hubungan yang timbul atas dasar perjanjian kerja yang dibuat atau disepakati bersama antara pengusaha dengan pekerja/karyawan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 diatur sedemikian rupa sehingga pemberhentian pegawai yang tidak hadir atau melanggar peraturan perusahaan dikenakan syarat yang relatif ketat. Namun, hal ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang penciptaan lapangan kerja, pemutusan hubungan kerja yang dapat dilakukan oleh pengusaha atau perusahaan karena berbagai alasan non-objektif.

Jika melihat peristiwa yang terjadi di masyarakat, banyak pekerja yang mencari pekerjaan tidak semudah yang dibayangkan. Persaingan yang lebih kuat, tenaga kerja yang terus bertambah, dan kondisi bisnis yang tidak stabil telah menyebabkan kekhawatiran akan pemutusan hubungan kerja.

Faktor penyebab terjadinya pemecatan memang beragam, seperti globalisasi, transformasi ke ekonomi berbasis pengetahuan, adaptasi terhadap perubahan kondisi dan krisis nasional dan internasional, yang kesemuanya membuat organisasi/perusahaan mencari struktur yang lebih fleksibel, lebih sederhana, lebih dinamis, dan seluler. Dalam lingkungan yang berubah ini, organisasi/perusahaan mulai mengembangkan alternatif-alternatif strategis untuk beradaptasi dengan kondisi internal dan eksternal yang baru dan secara efektif menggunakan semua sumber daya yang tersedia. Salah satu alternatif tersebut adalah strategi perampingan. Sehingga hal-hal tersebut membuat pemecatan tidak dapat diterima oleh berbagai pekerja/buruh, sebenarnya UU Cipta Kerja mengatur dasar-dasar pemahaman tentang pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha atau perusahaan.

Pasal 153 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penciptaan Lapangan Kerja menjelaskan larangan pemutusan hubungan kerja dengan berbagai alasan. Beberapa alasan yang dilarang antara lain:

  • Berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus menerus;
  • Berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan;
  • Menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
  • Menikah;
  • Hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
  • Mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan;
  • Mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat, pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
  • Mengadukan pengusaha kepada pihak yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
  • Berbeda paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; dan
  • Dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

Peristiwa yang terjadi di banyak perusahaan ternyata banyak hal yang menyebabkan seorang karyawan berhenti, baik atas permintaan sendiri maupun karena adanya peraturan yang tidak lagi memperbolehkan karyawan untuk terus bekerja. Akibat karyawan berhenti bekerja, hal itu juga berdampak pada keluarga karyawan tersebut, karena ia tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Oleh karena itu, perekrut harus dengan cermat menghitung jumlah uang yang harus diterima oleh karyawan yang berangkat agar karyawan tersebut dapat memenuhi kebutuhannya pada tingkat yang memadai. Pada saat yang sama, terdapat masalah sosial ekonomi yang ditandai dengan ketidakadilan ketenagakerjaan, hak-hak pekerja/upah yang tidak terpenuhi, organisasi pekerja yang lemah sebagai penyalur aspirasi, dan rendahnya kesadaran akan melaksanakan peraturan di kalangan pengusaha.

Ilustrasi Pemecatan (Foto : Istimewa)

Di Indonesia sendiri, permasalahan hukum terkait ketenagakerjaan masih sangat umum. Adanya hak pekerja, tapi tidak diberikan oleh perusahaan tempat dia bekerja, ada masalah yang terjadi sampai saat ini. Salah satu masalah hukum di dibidang ketenagakerjaan tersebut adalah pemutusan hubungan kerja (PHK). Ketentuan Pasal 151 Ayat (3) Undang-Undang Cipta Kerja menjelaskan mengenai tidak diperbolehkannya pemutusan hubungan kerja yang dilakukan secara sepihak. Dalam Pasal 151 Ayat (4) Undang-Undang Cipta Kerja menyebutkan, “Dalamhal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme perselisihan hubungan industrial”. Sehingga ada baiknya perusahaan melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.

Perlindungan yang diberikan kepada pekerja/buruh bertujuan untuk memenuhi hak-hak dasar pekerja/pekerja dan untuk memastikan kepatuhan kontrak dan perlakuan dengan hak-hak dasar pekerja/pekerja dan untuk memastikan kepatuhan dan perlakuan tanpa diskriminasi. Hal ini untuk mencapai kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Dalam hal ini, tujuan perlindungan adalah untuk menjamin kelangsungan sistem hubungan kerja tanpa adanya tekanan dari pihak yang berbeda. Oleh karena itu, pengusaha wajib membuat ketentuan mengenai perlindungan ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam Undang-Undang Cipta Kerja ini tidak merubah secara keseluruhan Undang-Undang Ketenagakerjaan dan dinyatakan tetap berlaku, hal ini sesuai dengan Pasal 185 Undang-Undang Cipta Kerja Adapula ruang lingkup dari perlindunggan terhadap pekerja/buruh yang sebagaimana diatur dalam BAB X Bagian Kesatu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu:

  • Perlindungan terhadap hak dasar pekerja/buruh untuk bermusyawarah dengan pengusaha;
  • Perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan pekerja;
  • Perlindungan khusus terhadap pekerja/buruh perempuan, anak, dan penyandang cacat; dan
  • Perlindungan terhadap upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial tenaga kerja.

Mengenai sikap perlindungan hukum terhadap pekerja yaitu memenuhi semua hak pekerja yang merupakan salah satu hak asasi manusia, karena pekerjaan berkaitan dengan segala sesuatu, sehingga pekerja dapat hidup, bahkan hak atas penghidupan yang layak bagi masyarakat. diamandemen dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Di dalam Pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Dalam hal ini juga telah sangat jelas bahwa hak asasi manusia ini merupakan hak yang tidak bisa kurang dalam hal kondisi maupun dalam keadaan bagaimanapun. Sehingga, yang harus dilakukan yaitu perusahaan seharusnya terlebih dahulu melakukan pemenuhan terhadap hak-hak normatif pekerja/buruh daripada memenuhi kebutuhan dari para kreditur-kreditur lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline