Banda Aceh atau Provinsi Nangroe Aceh Darussalam adalah Provinsi yang sebagian besar masyarakatnya masih menganut sistem hukum sesuai dengan syariat Islam atau disebut juga hukum jinayat. UU yang menerapkannya disebut juga dengan Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Asal mula bagaimana Aceh menerapkan hukum perdana Islam karena setelah mundurnya presiden Soeharto, Indonesia memberikan wewenang terhadap pemerintahah daerah.
Desentralisasi diatur pada UU yang dikeluarkan tahun 1999 dan 2004. UU ini mengizinkan pemerintah daerah mengeluarkan Perda namun tidak bertentangan dengan UU formal. Perda Aceh disebut jugan dengan Qanun. Pemerintah Indonesia memberikan hak resmi Aceh untuk menjalankan hukum pidana Islam dengan syarat Aceh harus menerapkan hukum formal yang berlaku di Indonesia.
Beberapa pelanggaran dimana Hukum Jinayat ini dilakukan adalah apabila menyalahi tentang industri, perzinahan, perjudian, seks sesama jenis, dimana setiap pelaku pelanggaran akan diberikan hukuman berupa cambuk, denda, ataupun kurungan.
Beratnya hukuman tergantung pada pelanggarannya. Hukuman untuk khalwat adalah paling ringan, yaitu hukum cambuk 10 kali, penjara 10 bulan, dan denda 100 gram emas. Hukuman paling berat adalah pemerkosa anak yaitu 150-200 kali cambuk, 150-200 bulan penjara, atau denda 1.500-2.000 gram emas.
Hukum ini hanya berlaku untuk semua orang muslim yang tinggal di Banda Aceh. Di Negara Arab, pelaku yang melakukan pencurian akan dipotong tangan dan yang melakukan hubungan zina akan dihukum rajam bagi yang sudah pernah menikah. Pada tahun 2009, Aceh sempat memperkenalkan hukum rajam, namun hal itu gagal mendapat persetujuan dari masyarakat maupun Pemerintah.
Belum lama ini pada Desember 2019, Aceh memberlakukan kembali hukum cambuk kepada pelaku yang merekam adegan syur dengan pelajar SMA di Aceh Singkil. Karena sudah melakukan perzinahan, pelaku harus dihukum cambuk di hadapan banyak warga Aceh Singkil dengan ketentuan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014. ES (21) mendapat 100 cambukan dan di lakukan oleh algojo yang wajahnya ditutupi oleh kain. Eksekusi cambuk dilakukan di Alun-Alun depan Kantor Bupati Aceh Singkil, di Pulo Sarok. Selain itu, pelaku mendapat kurungan penjara selama 50 bulan.
Namun, dengan adanya Hukum Jinayat ini menimbulkan banyak sekali kontra salah satunya dari Amnesty International yang menyatakan bahwa cambuk dengan rotan dianggap sebagai penyiksaan dan bertentangan dengan UUD 1945 dan Hak Asasi Manusia. Selain itu, Amnesty International menentang kriminalisasi hubungan seks diluar nikah atas dasar suka sama suka, karena dianggap melanggar hak atas privasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H