Lihat ke Halaman Asli

Pada Senyum Ditepian Bibirmu Sayang

Diperbarui: 12 Desember 2017   08:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

bukan sebuah pilu. hanya ada rindu.

bukan sebuah keinginan. hanya menjadi seorang teman.

bukan dibagi sedikit. hanya sebuah rangkulan utuk bangkit.

Sudah jauh waktu mengantarku pada titik-titik kisah. pada rona jingga yang tidak mampu di terjemahkan oleh sebarang metode analisis.

Pada malam yang melelapkan pada hitamnnya. aku terbunuh sebanyak tiga kali dalam mimpiku. sedang kenyataannya engkau hanya menawarkan sebuah perpisahan yang mengundang pilu. jemuh! hanya ada desir ombak yang riuh. selebihnya ketegangan pada setiap dimensi waktu yang menyimpan sebarang rindu yang mulai tak menemukan rima dalam larik syair sang sufi. aku seperti seorang yang mati.

Tentang apa itu esensi maupun sensasi. aku tidak pernah tahu. " sensasi berlaku secara alamiah. sedang esensi harus ditemukan melalui kontemplasi pemikiran." itulah yang dikatakannya. aku lirih pada sepinya hidupku tampa dirimu. aku seperti algojo, kadang-kadang seperti tersangka. lebih-lebih lagi aku kadang seperti bayang yang samar pada hitamnya kopi. apa yang aku cari dan aku hidup demi apa? pertanyaan yang lebur dalam dedebu pada kaca di jendela kamar. dipagi yang buta, segera mungkin di singkirkan. " aku tidak tahu banyak tentang kehidupan. tapi, aku hidup untu hidup itu sendiri" katanya lagi. aku masih seperti seorang yang mati.

Pada larik puisi dan syair-syair sibijak. aku coba ikut menunggang. hingga akhirnya, kesadaran membawaku pada keinginan untuk menemuimu sekali saja. sebelum para kapitalisis menjadikanku benar-benar mati. menemukan jalan untuk keluar dari resah dihati. menemukan satu lagi kehidupan yang sedikit banyaknya menemukan sebarang arti. dari sedikitnya waktu yang kumiliki dari kehidupan pada kesadaran duniawi. lagi-lagi aku hanya seperti seorang yang mati. pada kemanusiaan yang mati dalam paradigma resim zionisme. pada sikap tak acuh dari para mafia. dan pada senyum ditepian bibirmu sayang.

Sabah, 27 Agustus 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline