Lihat ke Halaman Asli

Halim Pratama

manusia biasa yang saling mengingatkan

Sudah Final, Tak Perlu Membandingkan Pancasila

Diperbarui: 28 Agustus 2022   10:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Toleransi - jalandamai.org

Tanggal 17 Agustus 2022 telah berlalu, namun semarak peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) RI ke-77 masih saja menggema di berbagai daerah Indonesia. Warga dengan sangat antusias mengikuti bermacam kegiatan seperti perlombaan, pentas seni dan karnaval yang digelar untuk memperingati HUT RI ke-77. Kemeriahan puncak peringatan HUT RI ke-77 yang dilaksanakan di Istana Negara meninggalkan kesan khidmat tanpa kehilangan suka citanya. Penampilan penyanyi cilik Farel Prayoga yang menyanyikan lagu "Ojo Dibandengke" di depan Presiden Joko Widodo membawa kesegaran suasana dan menjadikan acara peringatan HUT RI ke-77 terasa spesial.

Mulai dari Istana Negara sampai ke pelosok desa tidak kalah gegap gempita merayakan HUT Kemerdekaan. Namun sungguh ironis ketika semarak peringatan HUT kemerdekan yang notabene wujud dari ekspresi rasa cinta tanah air dinodai oleh propaganda kelompok radikal yang menyebarkan narasi NKRI adalah negara thogut dan cinta tanah air (nasionalisme) tidak memiliki dasar teologis dalam Islam sehingga di cap haram.

Narasi menyesatkan dengan memanipulasi makna thogut ini sebenarnya bukan hal baru. Kelompok radikal terus menerus mendaur ulang isu tersebut baik melalui mimbar agama di dunia nyata maupun dunia maya. Manipulasi makna thogut digunakan untuk menggiring opini masyarakat, jadi ketika kelompok radikal melabeli NKRI sebagai negara thogut maka kelompok-kelompok yang sudah termanipulasi akan setuju dengan tindakan terorisme yang dilakukan oleh kelompok radikal. Pada akhirnya mereka mendapatkan dukungan publik atas aksi-aksi menentang pemerintahan yang sah.

Menurut wikipedia Tagut (bahasa Arab: , thaghut) adalah istilah dalam agama Islam yang merujuk kepada setiap yang disembah selain Allah yang rela dengan peribadatan yang dilakukan oleh penyembah atau pengikutnya, atau rela dengan ketaatan orang yang menaatinya dalam melawan perintah Allah, Sedangkan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata tagut adalah yang menyuruh orang berbuat jahat. Arti lainnya dari tagut adalah yang disembah orang, tetapi bukan Tuhan.

Narasi NKRI thogut yang dilontarkan oleh kelompok radikal dikarenakan pemimpin negara dan segenap pemerintahannya tidak menegakkan syariat Islam. Syaikh Shalih Al Fauzan ditanya, "Apakah prinsip ini, khusus untuk untuk penguasa yang berhukum dengan syariat Allah sebagaimana negeri kita yang diberkahi ini, ataukah umum untuk pemerintah kaum muslimin bahkan yang tidak berhukum dengan syariat Allah dan menggantinya dengan qawanin wadh'iyyah (hukum buatan manusia)? "Beliau menjawab: "Allah berfirman: (yang artinya) "Dan ulil amri di antara kalian" (Q.S. An Nis' [4]: 59). Maksudnya, dari kaum muslimin. Maka jika dia penguasa itu muslim, tidak kafir kepada Allah dan juga tidak melakukan salah satu dari pembatal-pembatal keislaman, maka dia adalah ulil amri yang wajib ditaati.

Beliau menjelaskan bahwa ulil amri itu setiap penguasa muslim secara mutlak baik diangkatnya secara syari'i atau pun tidak sesuai syari'at. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa ulil amri itu hanya bila pengangkatannya sesuai syariat saja adalah pendapat yang tidak memiliki pendahulu bahkan ia adalah pendapat yang diada adakan. Justru para ulama bersepakat bahwa orang yang menjadi pemimpin karena menang dalam revolusi maka ia wajib ditaati. Revolusi di era demokrasi Indonesia saat ini adalah pemilu sebagai cara yang telah ditetapkan untuk siapapun yang ingin menjadi pemimpin negara di Indonesia.

Imam Tirmidzi dalam salah satu hadist yang diriwayatkannya Nabi saw mengatakan "Aku wasiatkan kalian agar bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat kepada pemimpin walaupun ia seorang hamba sahaya habasyah" (HR. At Tirmidzi).

Semua ulama menyatakan bahwa syarat untuk menjadi pemimpin adalah merdeka dan bukan hamba sahaya, Maka apabila seorang hamba sahaya menjadi pemimpin pastilah dengan cara yang tidak sesuai syariat. Merujuk hadist diatas, jika seseorang menjadi pemimpin namun caranya tidak sesuai syariat maka tetap harus diatati. Makna ditaati bukan berarti kita menyembah si pemimpin atau menyembah negara yang dipimpinnya. Sebatas kita menghormati dan menaati hukum yang berlaku sebagai sebuah acuan untuk keselarasan hidup bersama berbangsa dan bernegara.

Pancasila sebagai falsafah dan landasan hidup berbangsa dan bernegara disusun oleh para pendiri bangsa ini dengan memasukkan intisari ajaran Islam. Turunannya dalam UU juga tidak ada yang menyimpang dari ajaran Islam atau agama manapun. Jadi Pancasila ojo dibandingke dengan syariat Islam karena Pancasila tercipta untuk menterjemahkan syariat Islam agar dapat diterima oleh semua rakyat Indonesia yang memiliki kepercayaan yang berbeda-beda.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline