Lihat ke Halaman Asli

Halim Pratama

manusia biasa yang saling mengingatkan

Merajut Toleransi Tanpa Harus Saling Membenci

Diperbarui: 16 April 2022   23:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kebencian adalah sifat negatif yang ada dalam setiap diri setiap manusia. Dan kebencian itu bisa terus membesar dan mendominasi, jika kita terus membiarkannya ada dalam pikiran kita. Kebencian bisa mendekatkan diri pada segala praktek intoleransi. Bahkan kebencian juga bisa mendekatkan diri pada paham radikalisme. Karena itulah penting untuk mengendalikan rasa iri dan benci dalam diri ini. Inilah perang yang semestinya. Perang melawan hawa nafsu dan kebencian. Dan Ramadan, menjadi momentum untuk terus menyuarakan perang melawan kebencian.

Kebencian bukanlah perbuatan baik. Karena itulah kebencian harus dilawan dan tidak boleh diam terlalu lama dalam diri. Jika kita lihat dalam beberapa tahun terakhir, kebencian seringkali diumbar begitu vultar. Tidak hanya di dunia maya, kebencian juga terus menjalar di dunia nyata. Dalam setiap unggahan di media sosial, dalam status, atau bentuk lainnya, seringkali diselipkan sentimen kebencian didalamnya.

Masalah yang masih terus terjadi hingga saat ini di Indonesia memang masih masifnya provokasi radikalisme. Akibatnya, masyarakat yang awalnya toleran bisa berubah menjadi intoleran. Masyarakat yang awalnya ramah, bisa menjadi mudah marah. Masyarakat yang awalnya gemar merangkul, berubah menjadi gemar memukul. Semuanya berubah drastic, karena mudah terprovokasi akibat rendahnya literasi.

Belakangan sentimen SARA, seringkali dimunculkan ke publik, untuk memicu terjadinya amarah. Kita masih ingat seorang pemuda menendang sesaji masyarakat Tengger di lereng gunung Semeru. Ironisnya, aksi penendangan itu juga diikuti dengan teriakan takbir. Tak lama kemudian seorang ustaz mengusulkan pemusnahan wayang. Padahal, di era Wali Songo wayang justru dijadikan media untuk menyebarkan Islam. Pendeta Saifuddin juga sempat jadi pembicaraan, karena meminta kementerian agama untuk menghapus atau merevisi 300 ayat Al Quran. Ayat-ayat tersebut dinilai telah mengajarkan kekerasan dan terorisme. Pernyataan ini tentu bisa memicu terjadinya konflik di tengah masyarakat.

Alangkah lebih baiknya jika kurangi pernyataan-pernyataan yang menyesatkan tersebut. Mari belajar dari bulan suci Ramadan. Di tahun ini, Ramadan menjadi bulan yang sangat special. Ramadan tahun ini juga bertepatan dengan Jumat Agung, sebuah hari yang sangat bersejarah bagi umat Kristiani. Ramadan merupakan bulan yang penuh keberkahan dan ampunan. Sedangkan Jumat Agung merupakan peringatan atas wafatnya Yesus Kristus di salib. Kematian tersebut diyakini sebagai bentuk penebusan dosa umat manusia.

Peringatan Jumat Agung di tengah bulan Ramadan ini tentu menjadi peringatan yang sangat bersejarah. Toleransi antar umat beragama menjadi sebuah pemandangan yang begitu indah di Indonesia. Beberapa waktu lalu, salah satu klenteng di Jawa Tengah menawarkan makanan untuk buka bersama. Hal yang sama ketika terjadi hari raya keagamaan, antar umat beragama saling membantu, menghargai dan menghormati. Karena itulah, mari jadikan Ramadan ini sebagai momentum untuk meninggalkan segala bentuk kebencian. Jadikan Ramadan untuk merajut toleransi tanpa harus saling membenci. Ingat, kita semua bersaudara. Kita semua adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Salam toleransi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline