Beberapa tahun terakhir, istilah radikal dan radikalisme amat sering dibincangkan di Indonesia, terkait banyaknya aksi terorisme yang terjadi di Indonesia. Aksi teror Indonesia yang pernah marak terjadi di tahun 2001 -- 2010, sempat reda di tahun 2011-2015. Tapi muncul kembali di tahun 2016 ketika terjadi bom Sarinah sampai saat ini.
Artinya radikalisme tidak benar-benar berhenti pada 2011-2015. Mereka lebih masif bergerak masuk ke ranah pendidikan dan struktural. Sehingga penangannya harus lebih fokus dan bersungguh-sungguh, terutama di ranah pendidikan yang bertugas menyiapkan masa depan. Apa sebenarnya radikalisme ?
Menurut Khaled Abou alFadl (2005) akar masalah radikalisme adalah puritanisme. Yaitukecenderungan pemahaman yang tertutup dan mencerminkan karakter yang absolutis serta tidak mau berkompromi dengan pemikiran atau tafsir lain. Artinya bersifat rijid. Ia juga mengabaikan kontekstualitas dan bersikap anti lokalitas sehingga pembawa paham demikian selalu memaksakan kebenaran tunggal baik terhadap tafsir keagamaan maupun terhadap sistem sosial dan politik atau pemerintahan.
Maka ada kecenderungan bahwa radikalisme itu bukan hanya memperkuat pengelompokan diri atau identitas politik, misalnya, melainkan juga mudahnya menyalahkan pihak lain dan sebaliknya pemaksaana atas kebenarannya sendiri. Hal ini diperparah juga dengan memperbolehkan melakukan penyerangan dan kekerasan atau berlaku agresif terhadap pihak lain. Jika paham semacam ini berkelindan dengan kekuasaan negara yang represif dan aparatur hegemoni seperti lembaga pendidikan maka akan berdampak buruk dalam suatu kehidupan masyarakat.
Dalam lingkungan masyarakat dan negara, fungsi pendidikan sangat penting dalam membangun cara pandang generasi muda calon pemimpin bangsa dan masyarakat dalam suatu negara. Lembaga pendidikan juga merupakan agen transfer kesadaran dan ilmu pengetahuan. Maka sangat penting diperhatikan subyek yang melakukan transfer kesadaran dan ilmu pengetahuan tersebut.
Subyek yang dimaksud di sini adalah guru. Didukung oleh koridor penting lainnya yaitu kurikulum. Guru dan kurikulum harus menyiapkan diri pada antisipasi terhadap kecenderungan masuknya unsur-unsur pandangan radikal ke dalam keseluruhan tubuh masyarakat dan negara.
Salah satu caranya adalah pengawasan yang lebih ketat terhadap seleksi dan pengajaran oleh guru. Agar tidak terjadi lagi pengajaran radikal yang justru dilakukan oleh guru itu sendiri. Kita sempat melihat fenomena, bahwa jika tidak dilakukan pengawasan yang ketat, maka radikalisme juga dilakukan oleh para guru itu sendiri. Kurikulum pendidikan anti radikalisme di sekolah menengah, juga perlu dipikirkan oleh pemerintah , mengingat bahasa faham ini terhadap masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H