Lihat ke Halaman Asli

Resiliensi dan Work-Life Balance bagi Anggota Polri

Diperbarui: 5 September 2024   08:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar : shutterstock.com

Kuat di Tengah Tantangan:

"Resiliensi dan Work-Life Balance bagi anggota Polri"

By : Halimatus syakdiah

 

Stres kerja pada polisi penting untuk diperhatikan karena menurut Queiros et al (2020) dan Schaufeli dan Enzman (2004), stres kerja pada profesi polisi berdampak buruk terhadap kualitas hubungan antara polisi dan masyarakat, sementara inti dari tugas menjadi seorang polisi adalah berhubungan dengan masyarakat. Queiros et al (2020) menemukan bahwa pada kondisi stres anggota polisi menggunakan kata-kata atau perilaku kasar pada saat berinteraksi dengan masyarakat. 

Penelitian dari Queiros et al (2020) menyimpulkan bahwa 85% anggota polisi menunjukkan tingkat stress operasional yang tinggi, 28% mengalami tingkat kesulitan yang tinggi, dan 55% berisiko mengalami gangguan psikologis. Edward, Eaton-Stull, dan Kuen (2021) mengemukakan bahwa konflik polisi-masyarakat meluas dan dapat meningkatkan tingkat stres anggota polisi. Salah satu faktor yang mempengaruhi stres kerja adalah resiliensi (Kubo et al, 2021; Pehlivan & Guner, 2020; Zarindaf & Balooti, 2019; Dehghani & Hasani, 2021). Menurut Reivich & Shatte (2002).

Stres kerja salah satunya dipengaruhi oleh resiliensi (Kubo et al, 2021; Pehlivan & Guner, 2020; Zarindaf & Balooti, 2019; Dehghani & Hasani, 2021). Beberapa penelitian tersebut mengungkapkan bahwa resiliensi berpengaruh negatif terhadap stres kerja di mana semakin tinggi resiliensi, maka semakin berkurangnya stres kerja. Faktor lainnya yang mempengaruhi stres kerja adalah work-life balance (Esguerra, 2020; Atheya & Arora, 2017; Saeed et al, 2018; Raja & Ganesan, 2020; Angelina & Ardiyanti, 2020). Orang yang menjalani work-life balance lebih baik cenderung memiliki stres kerja yang lebih rendah. Sehingga berdasarkan beberapa penelitian terdahulu tersebut menyebutkan bahwa work-life balance berpengaruh negatif terhadap stress kerja.

Reivich & Shatte (2002) mendefinisikan bahwa resiliensi adalah kapasitas manusia untuk merespon kondisi yang tidak menyenangkan, trauma, atau kesengsaraan dengan cara yang sehat dan produktif, terutama untuk mengendalikan tekanan-tekanan dalam kehidupan sehari-harinya. Hal serupa juga dikatakan Helton & Smith (2004), resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi yang sulit. Ada individu yang mampu bertahan dan pulih dari situasi negatif secara efektif sedangkan individu lain gagal karena tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan.

Work-life balance merupakan upaya yang dilakukan oleh individu untuk menyeimbangkan dua peran atau lebih yang dijalani terkait dengan waktu, energi, pencapaian tujuan dan tekanan (Fisher, 2001). Istilah work-life balance mengacu pada individu yang menghabiskan waktu yang cukup di pekerjaan mereka sementara juga menghabiskan waktu yang cukup untuk kegiatan lain, seperti keluarga, hobi, dan keterlibatan di masyarakat (Smith, 2010). Pada intinya work-life balance adalah tentang membantu menyeimbangkan tanggung jawab individu untuk bekerja dan untuk kehidupannya (Kurmayeva et al., 2014). 


Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline