Lihat ke Halaman Asli

Krisis Legitimasi SBY

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Legitimasi yang menasbihkan seseorang pada sebuah kepemimpinan dibangun di atas berbagai sendi yang saling menopang: tak hanya legitimasi elektoral tapi juga legitimasi politik dan sosial. Respon publik yang dipimpin atas ucapan dan tindakan sang pemimpin merupakan sebagian cermin legitimasi tersebut.

Presiden SBY barangkali tak pernah membayangkan, ujaran singkat tentang gaji yang sudah tujuh tahun berjalan tidak naik akan menuai respon negatif yang sangat luas, dari hujatan hingga cemoohan. Tanggapan yang pasti sangat menusuk hati Presiden dan orang-orang di lingkaran kekuasaannya adalah gerakan "Koin untuk Presiden". Gerakan nyumbang receh meluas dimana-mana secara serentak, dari politisi hingga akar rumput.

Kekecewaan dan Krisis Legitimasi

Untuk meredam gelombang respon negatif, Jubir Presiden, Julian Aldrin Pasha, menyatakan Presiden tidak minta naik gaji. Statemen yang tidak banyak membantu memulihkan reputasi Presiden. Sebab gerakan olok-olok terhadap Presiden tersebut bukanlah fenomena tunggal di ruang senyap. Ia hanya satu dari sekian puncak kekecewaan publik atas Presiden.

Terbukti kemudian, belum padam gerakan koin, muncul gerakan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura), sebagai respon atas lemahnya komitmen dan tidak jelasnya langkah konkrit SBY. Presiden tak kunjung menunjukkan kepemimpinan langsung dalam perang melawan korupsi dan mafia hukum.

Tak berhenti disitu, bergulir kemudian Gerakan Keprihatinan yang dimotori oleh 100 tokoh nasional di berbagai bidang. Mereka prihatin karena agenda kesejahteraan tak kunjung mewujud di Indonesia, padahal sudah enam tahun berturut-turut Pemerintahan ini berkuasa.

Kemudian menyeruak juga Gerakan Anti Mafia Hukum (Geram Hukum) yang digeneratori oleh para intelektual, akademisi, dan aktivis. Mereka memprihatinkan fenomena absensi pemerintahan yang mampu menegakkan ide anti korupsi dan mafia hukum. Sebaliknya, mencolok politisasi atas pemberantasan korupsi dan mafia hukum.

Yang sangat menghentak tentu gerakan para tokoh lintas agama yang "turun gunung" karena "muntab" dengan situasi bangsa yang tak kunjung seperti yang dibayangkan konstitusi. Mereka yakin pemerintah merasa benar di jalan yang sesat. Kesesatan dari jalur konstitusi tersebut terlihat di berbagai bidang: ekonomi, hukum, politik, dan sebagainya. Para tokoh pun "menjewer" pemerintahan SBY dengan cap telah melakukan paling tidak delapan belas kebohongan publik. Presiden dan jajarannya tersengat. Mereka reaktif dengan perdebatan semantik tentang "bohong". Namun sesungguhnya tak banyak merespon substansi yang dipersoalkan para tokoh lintas agama.

Sesungguhnya bukan hari-hari ini saja, sejak awal periode pemerintahan keduanya, SBY telah banyak dihantam gelombang kekecewaan dengan cara-cara "sangat berani". "Bulan madu" Pemerintahan SBY jilid II diwarnai dengan poster-poster SBY "bertaring", dicorat-coret dan dibakar. Selama gaduh Skandal Century, bersama poster Sri Mulyani dan Boediono, SBY digambarkan sebagai drakula penghisap uang rakyat. Bahkan, poster SBY dilabelkan pada kerbau "SiBuYa" untuk menyampaikan apa yang dibahasakan sendiri oleh SBY sebagai "dungu, lambat, dan pemalas."

Rentetan situasi tersebut menunjukkan, SBY mengalami krisis legitimasi serius. Respon publik dalam hampir dua tahun terakhir memperkuat fenomena itu.

Tiga faktor

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline