Lihat ke Halaman Asli

Mewaspadai Musuh Demokrasi

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kubu Prabowo-Hatta tampaknya mempersiapkan perlawanan politik serius. Tim Capres-Cawapres “Garuda Merah” telah menyiapkan langkah mempersoalkan kecurangan Pilpres 2014, jika putusan MK ternyata menolak gugatan mereka. Demikian penegasan Fadli Zon, Wakil Ketua DPP Partai Gerindra (Tribun Jogja, 18/8).

Ada beberapa catatan yang perlu diajukan untuk mengerangkai sikap kubu Prabowo-Hatta sejauh ini. Pertama, para demokrat sejati menempatkan proses elektoral (pemilihan umum) sebagai prosedur untuk meraih mandat rakyat, bukan untuk memuaskan nafsu kuasa pribadi dan kelompoknya.

Kedua, demokrat sejati senantiasa memercayakan proses elektoral kepada mekanisme dan institusi demokrasi kredibel yang tersedia—seperti KPU dan MK yang membuka diri terhadap partisipasi dan kontrol publik, bukan merekayasa dan menginstrumentasi seluruh peluang yang ada di dalam institusi-institusi demokrasi demi mewujudkan ambisi kekuasaan dan menjegal mandat sebagian besar rakyat untuk kompetitor.

Ketiga, demokrat sejati menyadari bahwa kenegarawanan dalam kontestasi politik mula-mula harus ditunjukkan oleh pihak yang kalah dengan ucapan selamat kepada yang menang dan sekaligus pengakuan kekalahan serta dukungan pada pemerintahan kandidat yang menang.

Dengan tiga indikator konseptual itu saja, kita patut meragukan sikap dan perilaku politik Prabowo dan kubunya sebagai demokrat sejati. Beberapa petunjuk semakin mempertegas keraguan tersebut. Pertama, Mereka menginstrumentasi aneka cara untuk mewujudkan ambisi besar pada kepresidenan, sejak mengikuti Konvensi Capres Partai Golkar untuk Pilpres 2004, satu dasawarsa yang lalu.

Kedua, pada masa kampanye Pilpres, mereka “menghalalkan” kampanye hitam terhadap Jokowi—dari isu Kristen, China, hingga komunis. Setelah quick-count 9 lembaga survei kredibel mengunggulkan pasangan Jokowi-JK, kubu Prabowo menegaskan tidak percaya quick-count lembaga-lembaga tersebut namun pada saat yang sama berpegang pada survey abal-abal yang mereka sewa. Sambil lalu, mereka menggembar-gemborkan klaim kemenangan versi real-count KPU, 22 Juli.

Ketiga, begitu rekapitulasi suara KPU mendekati final dan klaim kemenangan tidak terbukti secara faktual, Prabowo dan kubunya menyatakan menolak Pilpres 2014 dan menarik diri dari seluruh proses. Setelah banyak pakar menyatakan tidak ada implikasi hukum apapun dari pernyataan Prabowo, bahkan kemungkinan akan menghapus legal standing-nya dalam gugatan sengketa hasil Pilpres di MK, kubu Prabowo kemudian mengeluarkan tafsir baru: hanya menarik diri dari proses rekapitulasi. Mereka pun mengajukan gugatan ke MK.

Keempat, setelah kans membalikkan selisih 8 juta lebih suara dirasa sangat berat—sebagaimana pernah diakui oleh Mantan Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta yang juga Mantan Ketua MK, Mahfud MD—apalagi gembar-gembor bukti kecurangan KPU dan pasangan Jokowi-JK yang akan dibawa ke MK sebanyak 10 truk ternyata bohong belaka, mereka kemudian menciptakan manuver baru. Mereka “mengancam” akan menggencarkan pertarungan panjang. Dalam orasi di hadapan para pendukungnya di gedung MK sebelum mengajukan gugatan, Prabowo menegaskan bahwa gugatan ke MK baru awal, bukan akhir—padahal MK secara konstitusional merupakan pemutus ultima pemenang pilpres.

Melihat tren sikap dan perilaku politik kubu Prabowo, sangat mungkin “ancaman” pertarungan panjang tersebut akan direalisasikan. Bila hal itu terjadi, kesejatian sebagai demokrat patut dipersoalkan—meski mereka berkontestasi dalam prosedur demokrasi. Apalagi jika mereka melakukan intrik politik untuk menjegal Presiden-Wakil Presiden terpilih dan mengganggu agenda pemerintahan hasil Pilpres 2014, maka mereka tak ubahnya sekumpulan para demagog.

Siapa demagog itu? Yaitu mereka yang memiliki koneksi kuat dan mendalam dengan rakyat kebanyakan, mencitrakan diri sebagai bagian dari jelata, memanipulasi koneksi itu, memantik kegusaran dan kemarahan rakyat untuk menghasilkan popularitas demi kepentingan dan ambisi mereka sendiri, serta mengancam atau seketika merusak aturan main, kode perilaku, dan institusi yang ada, bahkan hukum. Secara internal, mereka meremukkan aturan-aturan, institusi-institusi, dan bahkan hukum negara mereka sendiri, dan secara eksternal selalu berusaha untuk menyerang kelompok dan/atau bangsa lain (James F Cooper dalam On Demagogues, 1838).

Dari Aristoteles, sang Filsuf Yunani kuno itu—dalam Politeia, hingga Hamilton, salah satu Bapak Bangsa AS—dalam The Federalist paper, mengingatkan bahaya dan ancaman para demagog bagi demokrasi. Bahkan Michael Signer (2009) menyebut mereka sebagai musuh terburuk demokrasi (the worst enemies of democracy).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline