Lihat ke Halaman Asli

Pentingnya Sadar Makna Mudik

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menjelang 10 hari terakhir di Bulan Ramadlan,  bukannya semakin khusyuk meningkatkan kuantitas dan kualitas amal ibadah guna menyambut malam lailatul qadar dengan ganjaran lebih utama dari 1000 bulan, mayoritas kaum muslimin di Indonesia malah semakin asyik mempersiapkan segala piranti guna kepulangannya ke kampung halaman. Bila sudah seperti ini bisa kita saksikan kondisi masjid kita semakin maju. Maju dalam artian jamaahnya yang semakin maju ke depan alias semakin sepi. Padahal jelas sabda Nabi kalau 10 hari terakhir akan diberikan reward oleh allah berupa itqum minannar (terbebas dari api neraka). Kalau diibaratkan sebuah perlombaan justru disaat injury time (waktu-waktu terakhir) semangat kita malah memble, loyo kurang gairah. Padahal finish sudah di depan mata, tapi karena kurang gairah akhirnya kalah dengan peserta lomba yang lain. Berarti tingkatan untuk sampai pada derajat itqum minannar hanyalah sebuah angan-angan belaka. Lha wong masih males dan kalah dengan urusan duniawi kok?

Kalau Anda seorang pegawai negeri, mahasiswa, pedagang, pekerja pabrik atau apapun profesi Anda sekarang ini, pastinya akan sering mendapat pertanyaan ini menjelang hari raya dari rekan-rekan dekat, “Kapan Mudik?” “Mudik Kemana?” “Naik Apa?”.

Tradisi Mudik. Entah semenjak kapan tradisi itu ada rasanya juga tidak ada yang tahu. Yang jelas tradisi ini benar-benar mendarah daging di negeri ini. Susah rasanya untuk mengubah apalagi menghilangkan. Begitu mendengar kata mudik, maka terbayang dibenak kita akan kemacetan panjang, suasana panas, dan desak-desakan penumpang yang akan membawanya pulang dari angkutan-angkutan umum entah bus, kereta, atau kapal laut. Dan juga akan muncul pula dalam bayangan kita akan kekhawatiran berapa pengendara lagi yang bakalan menjadi “tumbal mudik” tahun ini? Semua itu rela dilakoni demi satu tujuan, yaitu MUDIK.

Melihat fenomena ini, maka tiada salahnya jika ada yang punya gagasan agar tradisi mudik dihilangkan atau bahkan dihapuskan. Ide ini nampak menarik, meski nyatanya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Tidak mudah merubah sesuatu yang sudah menjadi culture dan mengakar kuat di masyarakat. Butuh proses dan perjuangan panjang. Akan tetapi sebelum pada kesimpulan itu marilah kita kaji ulang, apa dampak positif-negatif dari mudik hingga membuat orang “nekat” mudik?

Kalau ada yang mengatakan mudik sebagai sarana silaturahmi sekaligus permohonan maaf atas segala kesalahan selama ini dengan keluarga, kerabat, teman dan handai taulan saya rasa memang kurang pas. Apa silaturahmi harus setahun sekali? Apa kalau kita berbuat salah kepada seseorang harus diakumulasi dulu, karena belum hari raya jadi tidak boleh minta maaf? Ini yang perlu diluruskan. Dalam islam sendiri ajaran bersilaturahmi dan permintaan halal atas dosa haqqul adami itu dianjurkan lebih cepat lebih baik. Jangan dibiasakan menunda karena umur manusia tidak ada yang tahu. Sementara budaya kita selama ini selalu meminta maaf di momen lebaran. Entah itu dengan orang yang dikenal atau tidak. Lucu rasanya, dengan orang tidak dikenal pun minta maaf. Lah dosanya apa?

Selanjutnya bila kita amati memang tujuan mudik masyarakat selama ini sangat beragam. Semua tergantung cara berpikir manusianya tidak bisa digebyah uyah. Ada yang pulang bisa membangun prasarana untuk kepentingan orang banyak, akan tetapi ada juga yang ingin sekedar pamer kesuksesan, walau kadang harus rela kredit sepeda/mobil sana-sini. Urusan tidak kuat bayar lalu diambil dealer lagi itu soal nanti, yang penting gaya dulu. Karena mainframe masyarakat kita yang sudah terlanjur salah kaprah, kalau sukses itu ya punya mobil mewah, baju bagus, uang banyak, dan istri cantik. Akhirnya segala upaya dilakukan agar bisa dikatakan sukses. Sebenarnya masyarakat juga tidak disalahkan, masyarakatnya seperti itu ya berarti itulah cerminan pemerintahnya.

Adapun dampak positif dari mudik yang bisa penulis tangkap adalah sekaligus sebagai upaya nguri-uri kearifan lokal yang namanya kumpul bareng sanak famili (reuni) di hari raya. Jangan sampai menurut orang jawa kuno kita ini mati obor (kehilangan persaudaraan) hingga akhirnya kita menjadi pribadi-pribadi individualis seperti di kota-kota besar yang dengan tetangga sebelah saja tidak kenal.

Seperti kita tahu, nilai-nilai keluarga sangat penting. Bahkan negara-negara Adikuasa seperti Amerika, Inggris, Perancis, Jerman saja ingin mengembalikan nilai-nilai keluarga yang mereka rasakan telah menipis. Adanya Father's Day, Mother's Day, Thanksgiving, dan momen-momen lain, mereka ciptakan untuk menyatukan kembali nilai-nilai keluarga yang telah hilang. Mereka rindu suasana itu.

Sungguh tidak bisa dibayangkan jika kehidupan kita makin individual, kita tidak memiliki (lagi) tradisi yang mampu meleburkan individualisme, bagaimana jadinya masyarakat kita ke depan? Membangun sebuah tradisi itu tidak mudah, apalagi yang mengakar ke tiap individu masyarakat. Tetapi memang setiap manfaat hampir pasti akan ada harga yang harus dibayar, jer basuki mowo bea…

Harga yang saya maksudkan disini adalah rasa capek, biaya, waktu, tetapi bukan nyawa pemudik, karena satu nyawa saja sudah terlalu berharga untuk dikorbankan. Anggap saja mudik itu sebagai sarana outbound untuk melepaskan rutinitas hidup di perkotaan yang penuh kepenatan.

Yang sebenarnya perlu kita sorot adalah peran pemerintah. Betapa tidak, dari tahun ke tahun penanganan mudik terkesan ala kadarnya. Saya pribadi melihat program pemerintah sama sekali tidak memiliki visi yang jelas. Seolah-olah penanganan mudik ibarat kebut semalam seperti pelajar yang akan menghadapi ujian. Baru kelihatan setelah bulan-bulan menjelang lebaran. Kalo dilihat posisi sekarang, saya yakin 100% pemerintah tidak tahu mudik tahun depan akan dibuat seperti apa. Kalau pemerintah memiliki visi yang jelas, seharusnya sudah ada visi, mudik tahun depan akan begini, 3 tahun lagi akan begini, 5-10 tahun lagi akan begini. Perusahaan kecil saja – yang bagus – punya visi kok akan seperti apa 5-10 tahun kedepan.

Alasan pemerintah mengatakan meningkatnya jumlah kendaraan sebagai kendala menurut saya alasan yang konyol. Ya kan pemerintah yang megang datanya? pemerintah yang memberikan ijin kendaraan, tentunya bisa melakukan prediksi-prediksi dan antisipasinya dong? jangan malah dijadikan alibi untuk meencari selamat sendiri.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline