Lihat ke Halaman Asli

Munawar Khalil

ASN, Author, Stoa

Label Sekuler dan Liberal terhadap Pemikiran Intelektual Muslim

Diperbarui: 29 Oktober 2022   13:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image: materiedukasi.com

Awalnya sempat pesimis dengan keadaan, cara berpikir, atau tingkat literasi kita yang mengkhawatirkan. Apalagi hal itu juga diiringi dengan label-label atau stempel oleh beberapa audiens konservatif karena menilai cara berpikir yang dianggap melebihi batas.

Pesimistis ini makin meningkat skalanya ketika masuk dalam kelas komunitas yang akan mencetak pemikir-pemikir Islam Indonesia dalam setahun atau 2 semester ini. Padahal di sini isinya intelektual-intelektual muslim. Dan ternyata, bukan hanya awam yang tekstual dan konservatif, intelektualnya juga masih banyak yang konservatif. Diskusi di luar kelas (group WA) menyisakan 2 problem gunung es yang sulit disatukan yaitu; perkara iman dan akal.

Salah satu pemateri, yang riset jurnalnya pernah dibaca mengenai tingginya kedudukan akal dalam al Qur'an dan Hadits, ketika ditanyakan di mana batasan akal saat sedang mengkaji/meng-crawling pengetahuan, ternyata juga tidak bisa menjelaskan secara memuaskan di mana batasan tersebut. Jangan-jangan batasan itu tidak ada. Tapi jika tidak ada, iya justru berbahaya. Ada anggapan akal itu jangan terlalu luas, karena bisa merusak iman dan bisa menggugat eksistensi Tuhan. Persoalan batasan inilah yang masih menjadi ganjalan kedalaman pemikiran Islam untuk mengejar ketertinggalan.

Pertanyaannya, bagaimana mungkin seseorang mengkaji sesuatu yang menjadi objek keimanannya? Karena dalam dunia akademis teks-teks keagamaan itu tak bisa dikaji hanya dengan keimanan saja, melainkan perlu menggunakan metodologi pengetahuan yang memadai. Cara bagaimana mengkaji teks yang kita baca, itulah namanya metodologi.

Nah, di sisi lain banyak sarjana muslim mengakui, bahwa ulama dan intelektual muslim konservatif biasanya lemah dalam metodologi. Hal ini berbanding terbalik dengan ketatnya metodologi riset yang dijalankan sarjana-sarjana modern. Sampai ada ungkapan yang mengatakan; andai Al Gazali itu menulis saat ini, maka secara akademik tulisannya tidak akan lolos di jurnal-jurnal terindeks. Kenapa? Karena landasan kitab Tahafut al Falasifah itu sangat jauh dari metode ilmiah dan terindikasi meng-copy paste kitab Qutul Qulub nya Abu Thalib al Maliki.

Jika sekaliber Gus Dur, Cak Nur, Harun Nasution, Buya Syafi'i, Mukti Ali, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, Kuntowijoyo, Dawam Rahardjo, dll saja dengan mudah di cap pemahaman mereka sebagai sekuler, liberal, dan kafir, bagaimana dengan yang tidak ada bandingannya dengan mereka? Tentu akan jadi makanan empuk dari stigma dan label-label tersebut.

Untungnya, begitu ngebut membaca pemikiran-pemikiran intelektual terdahulu seperti disebut di atas yang pemikirannya menjadi bahan kelas, tumbuh rasa optimistis. Pembaruan pemikiran itu memang akan menghadapi tantangan luar biasa, termasuk stigma negatif. Tak perlu risau tentang itu. Semua tetap berkiblat kepada hukum evolusi, termasuk membuka pemikiran, ia tak bisa instan. Apalagi jika yang dihadapi adalah audiens yang konservatif dan terlingkupi kejumudan dalam beragama.

Bagaimana contoh konkrit terjadinya perubahan pemikiran? Lihatlah isu komunisme yang sejak awal sangat luar biasa ditolak oleh masyarakat kita. Setelah 30 september tadi berlalu, isu ini tidak dominan lagi menghiasi ruang media massa dan sosial kita sebagai musuh utama. Padahal selama hampir 56 tahun sejak 1965, ia menjadi doktrin ideologis yang merasuki pemikiran kita. Itu artinya ideologi ini mengalami evolusi dalam pemikiran, karena sepertinya tidak menarik lagi untuk didiskusikan.

Menurut pra pemahaman, hal ini mungkin saja di picu oleh beberapa faktor. Pertama, kesadaran evolutif dari masyarakat akibat pencerahan yang dilakukan terus menerus, bahwa ideologi ini bukan lagi "hantu" yang bisa menakut-nakuti. Kedua, kebenaran bahwa PKI adalah otak gerakan, mulai surut dan diragukan. Ketiga, tentu alasan politis karena beberapa partai Islam konservatif sepertinya akan merapat ke kubu nasionalis kiri pada 2024 nanti. Ketiga hal ini yang mungkin membuat audiens paham bahwa isu ini sebenarnya adalah kepentingan politik belaka.

Tentu harapannya, pembukaan literasi terus menerus terhadap pemikiran dogmatis juga akan berevolusi. Optimis, walau dilabeli macam-macam. Barat saja sebagai sumber pengetahuan saat ini, perlu 200 tahun untuk berlepas dari zaman kegelapan. Apalagi kita yang IQ rata-ratanya belum beranjak naik dari angka 78,49.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline