Muhammadiyah hanya mengenal 2 Buya dalam sejarah intelektualnya. Kedua orang itu adalah Buya Hamka dan Buya Syafii Maarif. Buya merupakan gelar yang diberikan orang Sumatra, khususnya Minangkabau untuk laki-laki intelektual yang mempunyai cakrawala pemikiran luar biasa dalam peta pembaruan Islam.
Menurut Catatan Buya Hamka, seperti yang disampaikan Buya Syafii Maarif dalam sebuah seminar beberapa tahun yang lalu di Malaysia, dan diadakan oleh kelompok intelektual Malaysia bertajuk Islamic Renaissance Front, Buya menjelaskan kenapa Kyai Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Alasan utama karena sikap dan pemikiran kritis beliau terhadap keadaan bangsa Indonesia ketika berada dalam kekuasaan penjajah saat itu.
Buya menerangkan, sikap kritis ini didorong oleh 3 faktor dominan yang dalam pandangan Kyai Dahlan, sebagai dasar untuk merumuskan sebuah persoalan kritis, yaitu terdapatnya das sein dan das solen, atau ketidaksetimbangan antara harapan dengan kenyataan. Tiga faktor tersebut menurut Buya adalah; kebodohan, ketertinggalan, dan kemiskinan. Ketiganya dialami oleh sebagian besar bangsa kita pada saat itu, terutama umat Islam.
Oleh sebab itu, warga Muhammadiyah mengenal beberapa rumah sakit yang dikelola Muhammadiyah selalu ada nama PKU di depannya. PKU dalam sejarah awalnya bukanlah kependekan dari Pembina Kesejahteraan Umat seperti saat ini. Ia adalah kependekan dari Penolong Kesengsaraan Umat. Sangat linier dengan tujuan utama Muhammadiyah awal didirikan untuk mengentaskan trilogi yang mendera umat, yaitu kesengsaraan.
Atas dasar itu kemudian, Kyai Dahlan mendirikan sekolah dan institusi kesehatan model Barat yang diperuntukkan bagi kalangan non priayi untuk mengejar ketertinggalan. Itu artinya gerakan awal persyarikatan adalah gerakan sosial yang bertujuan membantu kemaslahatan masyarakat. Yaitu organisasi yang memberikan kontribusi dengan nafas dan spirit Islam.
Pemikiran kritis ini muncul, ketika Kyai Dahlan berkenalan dengan pembaharu-pembaharu pemikir Islam kritis seperti Jamaludin Al Afgani, Rasyid Ridha, dan terutama Muhammad Abduh. Ketiga pembaharu ini mempengaruhi pemikiran Kyai Dahlan karena mengusung ideologi mu'tazilah yang berorientasi bahwa Islam adalah agama rasional, agama yang sejalan dengan akal, bahkan agama yang didasarkan atas rasionalitas kritis terhadap keadaan sekitar.
Sedangkan purifikasi (kembali ke al Qur'an dan Hadits, bahkan penentangan terhadap persoalan takhayul, bid'ah, dan khurafat) yang kemudian diangkat oleh sebagian warga Muhammadiyah sebagai landasan utama pergerakan, sebenarnya baru muncul belakangan 4 tahunan pasca Kyai Dahlan wafat. Yaitu ketika berdirinya Majelis Tarjih pada tahun 1927 yang dipimpin oleh KH. Mas Mansur.
Purifikasi atau pemurnian, awalnya muncul karena kegelisahan Kyai Dahlan terhadap praktik-praktik keagamaan kalangan keraton yang menurutnya tidak sesuai. Ini sebenarnya lebih bersifat internal. Tidak berbentuk gerakan masif yang menimbulkan pertentangan atau gesekan. Kecuali ketika meluruskan arah kiblat. Namun dalam perkembangannya, term mengenai purifikasi ini cenderung lebih menguat. Lalu dijadikan sebagai basis utama alasan pergerakan oleh sebagian kalangan Muhammadiyah konservatif. Apalagi term tajdid atau pembaharuan sendiri berlawanan dengan term purifikasi. Karena jika ingin memurnikan, buat apa ada pembaruan.
Namun kedua term yang digagas lalu kemudian dipublikasikan ini sebenarnya bukanlah persoalan utama. Karena keduanya bisa berjalan beriringan. Persoalan lebih kepada mulai bergesernya beberapa tujuan gerakan jika menganalisa sikap kritis terhadap keadaan sosial yang menjadi dasar Kyai Dahlan mendirikan Muhammadiyah menurut Buya Hamka di atas.
Secara faktual, belum ada data atau riset akademis yang meneliti seberapa jauh Muhammadiyah saat ini berhasil memberikan kontribusi terhadap KEMAJUAN PEMIKIRAN KRITIS umat Islam seperti yang dicontohkan Kyai Dahlan, Buya Hamka, dan Buya Syafii Maarif. Kita lebih cenderung melihat produk pemikiran intelektual Muhammadiyah masih berkutat dalam bidang fiqih, halal haram, sunnah bid'ah, dan beberapa distingsi dalam persoalan amalan yang sifatnya furu'iyah.