Lihat ke Halaman Asli

Munawar Khalil

ASN, Author, Stoa

Ketertinggalan Islam dalam Parameter Ilmu Pengetahuan

Diperbarui: 30 Oktober 2021   23:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: rctiplus.com

Gerakan Pan Islamisme yang digagas oleh Jamaluddin Al Afghani adalah gerakan yang berakar dan tumbuh dari kegelisahan atas ketertinggalan Islam yang sangat masif. Gerakan ini merupakan sebuah perlawanan terhadap dominasi Barat oleh Afghani pada awal abad-19. Penyebabnya, kaum muslimin dianggap tidak bersatu, tersekat ke dalam beberapa mazhab serta manhaj, dan masing-masing tenggelam dengan kepentingannya.

Parameter ketertinggalan itu bisa dilihat melalui beberapa indeks yang dicatat lembaga-lembaga kredibel dunia. Dari indeks demokrasi, kebebasan, inovasi, literasi, pendidikan, dan juga kesejahteraan; tidak ada satu pun negara berpenduduk mayoritas muslim di dunia yang berada di peringkat atas. Sementara 40 negara yang menguasai indeks tersebut semuanya adalah negara-negara non muslim. Begitu juga yang menguasai peringkat 40 negara paling Islami tak satupun ada negara Islam bertengger di sana.

Menyikapi ketertinggalan tersebut beberapa intelektual muslim bersepakat, bahwa perlawanan memajukan peradaban Islam tidak lagi berupa perlawanan fisik seperti abad-7 masa lalu. Tapi perlawanan dalam hal pemikiran, ide-ide, gagasan, dan temuan-temuan yang membuat kemanfaatan bagi peradaban manusia. Seperti era keemasan Islam masa lalu yang berlangsung selama 4 abad dari abad 7 sampai 11. Lalu kemudian terus merosot dari abad 11 sampai sekarang.

Syakib Arslan, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha adalah tiga ilmuwan dan pemikir muslim pendukung Pan Islamisme yang sejalan dengan gagasan tersebut. Ketiganya sepakat, bahwa kemunduran Islam sejak abad pertengahan hingga saat ini, dikarenakan hampir tidak adanya lagi ilmuwan-ilmuwan muslim yang berlatar belakang filsafat, logika, sains, teknologi, ilmu medis, atau ilmu alam terkemuka dari kalangan Islam.

Linier dalam menyikapi persoalan umat ini, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah yang juga Guru Besar Fisika Teori Institut Teknologi Sepuluh November Agus Purwanto berpendapat sama, bahwa dunia Islam tertinggal cukup jauh dengan prestasi dunia Barat dalam bidang sains dan teknologi. Ketika berbicara tentang Al Quran dan Islam, maka asosiasi umat Islam masih terfokus pada relasi Tuhan dan manusia, seputar akhlak, azab, dosa, pahala, dan lain-lain. Sehingga sulit membuka diri terhadap perubahan sosial yang berlangsung cepat.

Yang lebih mencengangkan adalah hasil studi Ahmet Kuru, ilmuwan muslim yang juga Guru Besar Ilmu Politik dan direktur Center for Islamic and Arabic Studies di San Diego University, risetnya menemukan fakta bahwa ketertinggalan Islam karena faktor banyaknya ulama dan ilmuwan Islam yang bersedekap dengan penguasa, yang dimulai sejak zaman Imam Al Ghazali. Bahkan Al Ghazali sendiri dituding sebagai salah satu penyebab ketertinggalan tersebut. 

Al Ghazali berdasarkan proposisi temuan tersebut, diduga diminta penguasa Abbasyiyah untuk mengelola lembaga-lembaga pendidikan dan merancang kurikulum yang mematikan ilmu-ilmu alam, matematika, astronomi, dan kedokteran, juga filsafat, pada lembaga-lembaga pendidikannya. Termasuk menulis buku-buku dan kitab-kitab yang anti terhadap sains dan logika. Buku dan kitab karya Al Ghazali tersebut masif disebarkan oleh penguasa Abbasyiyah Al Qadir waktu itu untuk mengamankan kekuasaannya, sehingga menjadi doktrin bagi mayoritas umat Islam sampai saat ini.

Yang menarik dan cukup membuat ada harapan baik, dari buku tentang ketertinggalan Islam Ahmet Kuru membuat pengecualian proposisi untuk Islam Indonesia. Menurutnya, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, masalah Indonesia tidak didominasi oleh persekutuan ulama yang bersedekap dengan penguasa. Alhasil, Indonesia adalah sedikit dari negara mayoritas muslim di dunia yang pembangunan sosial ekonominya lebih tinggi dibanding negara-negara muslim lain. Namun menurut Kuru argumen inipun perlu diuji lagi dalam penelitian selanjutnya.

Kritik dari beberapa ilmuwan di atas sebenarnya bukan berkonsentrasi kepada filsafat dan logika, juga persekutuan para ulama. Tetapi secara umum bagaimana ilmu-ilmu saintifik berbasis pengujian yang berpatokan kepada standar Gauss tidak lagi menjadi minat dan rujukan umat Islam untuk dipelajari. Apalagi dalam dunia serba digital, ketika temuan-temuan sains mulai banyak menggugah hal-hal yang bersifat dogmatik, sains 'tampak' dilokalisir karena kekhawatiran bisa mengubah arah generasi ini.

Karena itulah umat Islam lebih memfokuskan diri mendalami pengetahuannya kepada ilmu-ilmu akidah, akhlak, fikih, dan relasi-relasi yang berhubungan dengan pahala dan dosa tadi. Hal ini kemudian mengakibatkan mengentalnya gerakan dengan caption 'kembali ke Al Quran dan Hadits' yang digelorakan oleh teman-teman bergenre tekstual.

Sayangnya, inti gerakan kembali ke Al Quran dan Hadits ini bukan dengan jalan membuka literasi muslim untuk mempelajari ilmu pengetahuan seperti yang disarankan kelima ilmuwan dan juga oleh Al Quran sendiri (di Al Quran ada 800 ayat tentang pengetahuan alam, fiqih hanya 160 ayat). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline