Lihat ke Halaman Asli

Munawar Khalil

ASN, Author, Stoa

Syi'ar dalam Suara Lantang TOA: Semakin Menajamkan Identitas?

Diperbarui: 30 Juli 2021   10:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

TOA atau pengeras suara adalah salah satu penemuan modern yang ditemukan oleh manusia yang penggunaannya sangat masif di era teknologi serba digital saat ini, terutama untuk panggilan adzan di lima waktu shalat. Tujuan utamanya adalah menyampaikan transmisi suara ke telinga kaum muslimin bahwa waktu shalat sudah tiba.

Jika esensi atau tujuan utamanya hanya itu, kita bisa menyempurnakan lagi tujuan tersebut sampai ke masing-masing kaum muslimin dengan semacam radio transmiter langsung di mana mereka berada. Dengan teknologi yang serba maju hal itu tidaklah sulit. Apalagi saat ini waktu adzan untuk panggilan shalat up to date langsung bisa masuk ke telinga lewat berbagai aplikasi panggilan adzan dan waktu shalat yang ada pada telepon pintar kita. Atau bagi muslim yang sudah terbiasa, sebelum panggilan adzan-pun ia sudah tahu bersiap-siap untuk melaksanakan shalat.

Apakah TOA yang suaranya memekakkan telinga bahkan juga mengganggu umat lain tidak kita perlukan lagi? Tentu tidak sesederhana itu. Dalam Islam ada yang namanya syi'ar, yaitu menyampaikan sebuah pesan dan misi kebaikan secara semarak agar di dengar orang lain. Nah problemnya terkadang ada di sini. Semarak itu harus berupa sesuatu yang ramai, riuh, heboh, bahkan bombastis, tidak peduli itu misalnya mengganggu orang lain. Ringkasnya, jika tidak semarak tidak afdhol dan serasa ada yang kurang ketika kita mau melaksanakan sebuah ritual tanpa ada penyampaian suara yang keras dan nyaring.

Pergeseran pola ibadah sebelum ada penemuan teknologi pengeras suara sebenarnya sudah terjadi jauh sejak awal pengeras suara ditemukan. Ketika waktu shalat masuk muadzin harus naik ke atas bangunan masjid paling tinggi mengikuti Bilal bin Rabbah agar penduduk kota Madinah menghentikan seluruh kegiatannya untuk segera ber siap menuju masjid dan melaksanakan shalat. Artinya, waktu itu kita memakai dan menerima perubahan tersebut tanpa diembeli bahwa menggunakan pengeras suara yang ditemukan oleh seorang Pastor Katolik Jerman pada tahun 1400-an itu tidak dicontohkan oleh Nabi.

Saat ini berbeda, ketika masuk waktu shalat kita akan dikepung oleh TOA pada delapan penjuru mata angin. Apalagi dengan kecanggihan teknologi pengeras suara sekarang ini hampir tiap-tiap masjid dan musholla saling berlomba menggunakan mixer dan amplifier ber-power besar, menambah tinggi menara, termasuk memperbanyak jumlah TOA di ujung menara sekeliling 360 derajat.

Masjid dan musholla di Indonesia itu sebagian besar lokasinya berdekatan, walau rata-rata tingkat isian/okupansinya paling banyak hanya 10% dari luasan total bangunan, kosong melompong. Penyebabnya banyak manhaj dan aliran yang membuat sesama muslim tidak bersatu untuk menempati satu tempat ibadah saja. Apalagi terkadang dalam satu frame manhaj dan aliran tadi juga sering terjadi perselisihan atau ketidakcocokan.

Diluar esensi pemberitahuan waktu shalat, syi'ar, kepuasaan, dan budaya, hal ini bisa difenomenakan sebagai amplifikasi penyampaian hegemoni bahwa salah satu pihak besar dan mayoritas. Inilah yang dalam kajian Identity-nya Francis Fukuyama termasuk dalam kategori sebagai kebutuhan dan budaya yang berpotensi menajamkan identitas, pengkotakkan kelompok, dan bisa berubah menjadi politik untuk saling membenci.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline