Galileo Galilei adalah salah satu penemu teleskop dan legenda jagat sains dunia. Meski disebut sebagai bapak astronomi modern, ia justru dihukum oleh otoritas gereja karena teori heliosentris yang ia temukan pada tahun 1600-an -dan faktnya terbukti benar sampai saat ini.
Observasinya agak beririsan dengan isi Al Quran dan Alkitab saat itu karena meruntuhkan argumentasi agamawan yang menyebut dunia sebagai pusat alam semesta. Temuan Galileo berpendapat lain, menurut Galileo bumi hanya salah satu planet yang berputar mengelilingi matahari. Bumi lah yang berputar mengelilingi matahari.
Walaupun berlawanan dengan dua kitab agama saat itu, karena dikhawatirkan mendegradasi keyakinan umat. Yang menghukum Galileo adalah otoritas gereja. Hukuman seumur hidup akhirnya diubah menjadi hukuman mati.
Sebenarnya pada 1992, Paus Johanes Paulus II secara terbuka menyatakan bahwa hukuman yang dijatuhkan pada Galileo adalah hasil dari 'pemahaman yang salah'. Namun berselang lama lebih 400 tahun kemudian setelah kematiannya, pada tahun 2009, barulah pemimpin tertinggi umat Khatolik, Paus Benedictus XVI, merehabilitasi nama Galileo, bahkan menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Galileo dan para ilmuwan lain, yang menurutnya telah memberikan kontribusi dalam memahami karya Tuhan.
Pada Mei 2009 jugalah, sejumlah petinggi Vatikan ikut berpartisipasi dalam konferensi yang membahas soal Galileo. Menurut informasi, Vatikan bahkan secara khusus telah menobatkan Galileo sebagai 'Bapak dialektika iman dan akal'. "Keimanan Galileo membuatnya melihat alam semesta sebagai buku karya Tuhan," kata orang nomor dua Vatikan, Kardinal Tarcisio Bertone saat itu.
Realitas di atas membuktikan, bahwa agama terkadang menjadi kaku saat menyikapi temuan sains. Sains bersifat dinamis dengan evolusi dan pembaharuannya, sementara agama bersifat statis. Dalam kondisi shock seringkali kaum agamawan membentengi agama dari temuan sains, walau kemudian ketika fakta sains akhirnya tidak bisa di ingkari karena terjadi nyata dalam proses kehidupan, dimanfaatkan, dan berguna bagi sejarah serta peradaban .
Uniknya, setelah ratusan tahun barulah kebenaran sains diakui, bahkan digunakan dalam berbagai kegiatan keagamaan seperti teleskop Galileo yang kini menjadi alat utama untuk mengobservasi bulan dalam rukyatul hilal kementerian agama, pengeras suara yang digunakan untuk aktifitas ibadah yang ditemukan oleh Pastor Jerman Anathasius Kircher, serta TOA untuk panggilan adzan yang diciptakan TOA Corporation Jepang. Perbuatan-perbuatan dalam rangka ibadah tersebut jika berkaca menggunakan pendekatan keagamaan yang rigid, tentu tidak ada contohnya dari Nabi.
Yang menarik adalah ketika sains meneliti bagaimana proses terjadinya petir. Agama berkeras bahwa petir adalah ciptaan Tuhan. Persis ungkapan salah satu ustadz kondang yang mengatakan bahwa corona adalah tentara Allah, namun ternyata menyerang kaum muslimin sendiri. Pada gilirannya, sains mengungkap semua fakta bagaimana proses petir terjadi. Yaitu suatu proses yang disebabkan oleh pertemuan banyaknya gumpalan es di awan yang saling bergerak di udara. Pertemuan dan tabrakan ini menghasilkan muatan listrik yang menyala yang disebut petir, dan menghasilkan suara keras yang biasa kita sebut dengan guntur.
Lebih menarik lagi, petir pada masa itu acapkali menghantam bangunan gereja dan masjid yang rata-rata lebih tinggi dibanding bangunan lain. Sehingga logikanya berlawanan seperti corona tadi, bagaimana mungkin materi ciptaan Tuhan menghantam gereja dan masjid yang disebut sebagai rumahNya. Maka selang beberapa waktu pasca seringnya rumah ibadah terkena sambaran petir, sains kembali menunjukkan hegemoninya ketika Benjamin Franklin menemukan penangkal petir. Sampai akhirnya penangkal petir ini sampai sekarang pasti terlihat menyembul kokoh di atas setiap bangunan gereja, masjid, dan bangunan-bangunan tinggi lainnya.
Menyikapi hal ini, sebenarnya jalan terbaik adalah tidak melakukan resistensi ketika temuan sains dipublikasikan. Apalagi menghukum atau sekedar men-stigma sains sebagai lawan dari agama. Tapi menyatukan keduanya dalam kerangka berpikir berbeda, yaitu ranah keyakinan dan pengetahuan yang memiliki cara dan pembuktian berbeda yang tidak saling berlawanan.
Artinya kita bisa membuat sains dan agama berjalan seiring tanpa membuat jarak, dengan membentengi bahwa keduanya adalah cara Allah membuat roadmap dan kita manusia lah yang mengurai, mendefinisikan, melengkapi, lalu menggunakannya sebagai media dalam perjalanan menuju-Nya.