Hampir semua umat beragama sepaham bahwa yang termuat dalam ajaran agama yang tidak harus dinalar dengan logika atau akal. Prinsip utamanya adalah menggunakan "logika iman" di mana lebih mengarah pada penanaman kepercayaan pada kebenaran absolut terhadap agama sebagai produk Tuhan.
Nalar iman (agama) pada dasarnya adalah nalar atau logika yang diturunkan Tuhan kepada umat manusia dalam bentuk wahyu. Dalam konteks agama Islam misalnya, perintah menjalankan ibadah shalat adalah bagian dari logika agama yang tidak bisa dinalar dengan logika ilmu. Misalnya jika seseorang [muslim] mempertanyakan: di manakah nalar logis seorang hamba Tuhan melaksanakan shalat 5 kali dalam sehari? Mengapa shalat subuh harus 2 raka'at, zhuhur, ashar, dan isya masing-masing 4 raka'at, dan maghrib 3 raka'at...? Pertanyaan lanjutannya: apakah dengan melaksanakan shalat 5 kali sehari itu, seorang musilm menjadi lebih taat, lebih baik, dan lebih berkarakter dibanding seorang muslim yang tidak melaksanakan shalat?
Apabila nalar ilmu (logika akal) dipaksa masuk ke dalam nalar iman (logika agama, atau logika Tuhan), tentu hasilnya akan berbeda. Contoh atau perumpamaan shalat di atas, seharusnya cukup berada di ranah nalar iman saja. Seseorang yang melaksanakan shalat adalah kewajiban bagi setiap muslim, titik; tidak lebih dan tidak kurang. Mengapa kemudian ada seorang muslim taat (baca: melaksanakan shalat) tapi masih melakukan kemungkaran (seperti: korupsi, aniaya, dusta, dan lainnya), sementara seorang muslim tidak taat (baca: tidak melaksanakan shalat) tapi memiliki karakter dan relasi sosial yang baik; itu adalah permasalahan lain. Ada yang mengatakan bahwa shalatnya sia-sia, shalatnya tidak serius, shalatnya tidak dihayati, shalatnya tidak ikhlas, dan seterusnya. Bahkan di dalam Al-Qur'an Surah Al-Ankabut [29] ayat 45 disebutkan bahwa shalat itu bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar. Lantas di manakah nalar ilmu (logika akal) bisa masuk...?
Perlu dipahami bahwa nalar iman (logika agama, logika Tuhan) itu tunggal, absolut, dan universal. Sementara nalar ilmu (logika akal, logika manusia) itu multitafsir, relatif, dan parsial. Saat seseorang (muslim) terlihat baik dalam ibadah sehari-hari, tetapi berperangai buruk dalam kehidupan sosialnya, di situlah nalar ilmu atau logika manusia dimasukkan. Maka (masih berkaitan dengan kasus shalat) seseorang yang taat beribadah tapi tidak taat dalam relasi sosial (misalnya melanggar hukum, korupsi, dan lainnya), di situlah dia sudah tercerabut dari nalar iman. Dia hanya menjalanakn nalar ilmu, nalar logis, nalar manusia yang relatif.
Mengingat nalar ilmu itu relatif, maka istilah yang tepat untuk menilai seseorang yang menganut sebuah agama, adalah "keagamaan" di mana di dalamnya juga melibatkan unsur-unsur nalar manusia yang relatif tersebut. Di sinilah kemudian muncul keragaman tafsir atas teks-teks agama. Pada aspek keagamaan inilah, kita mengenal istilah "syari'ah" yang memuat adanya keragaman tersebut. Misalnya jika kita merujuk pada Al-Qur'an Surah Al-Maidah [5} ayat 48 berikut:
Dan Kami telah turunkan kepadamu [Muhammad] Al-Qur'an dengan [membawa] kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab [yang diturunkan sebelumnya] dan ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan syir'ah [peraturan] dan minhaj [pedoman atau jalan]. Andai Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kalian kembali, dan Dia memberitahu kalian sesuatu yang telah kalian perselisihkan itu.
Secara general, makna "syir'ah" dan "minhaj" dalam firman Allah SWT di atas, menunjukkan adanya keragaman dalam menjalankan perintah Allah SWT. Di sinilah, keagamaan yang dimaksud, melibatkan banyak unsur di mana nalar ilmu atau kemanusiaan bisa dijalankan, dengan muatan relativitas dan parsialitas yang beragam.
Intinya, dalam uraian ringkas sebagai semacam "narasi pengantar" ini, kita perlu menempatkan nalar iman dan nalar ilmu secara obyektif dan proporsional, agar tidak terjebak ke dalam narasi-narasi keagamaan yang justru menjauhkan para penganutnya dari subtansi yang dikandung dalam agama itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H