Refleksi Hari Raya Idul Adha 1438 H
Dr. Halid, M.Ag.*
Seperti biasa, menjelang Hari Raya Idul Adha, terlihat banyak spanduk, iklan, promo, dsb. Tidak sedikit juga dilengkapi dengan pengharapan mencari ridha Tuhan, memediasi hewan qurban menuju surga. Memang harus diakui, ada makna simbolis keagamaan yang sangat berharga di balik sembelihan hewan qurban. Di antaranya adalah untuk membunuh sifat dan insting liar yang direpresentasikan terhadap hewan.
Perayaan ibadah qurban juga memberi efek pada rangsangan pertumbuhan usaha perekonomian di kalangan masyarakat bawah, khususnya para peternak. Meskipun hal ini belum bisa dipastikan tentang siapakah yang diuntungkan; apakah para peternak hewan atau justru broker hewan qurban. Di samping itu---dan ini yang lebih penting---adalah menunjukkan ekspresi keimanan dan kepatuhan seorang muslim, juga untuk menebar kasih sayang dan kepedulian sosial kepada sesama, khususnya kaum mustadh'afin (kaum miskin dan lemah).
Tulisan berikut adalah sebuah refleksi dari seorang muslim yang gelisah dengan fenomena berqurban yang semakin tahun terlihat semakin ramai.
Suatu ketika, seorang petinggi sebuah perusahaan bercerita sekaligus bertanya kepada kawannya, "Tahun ini aku berqurban satu ekor kambing. Apakah tahun ini kamu juga berqurban...?" Sang kawan menjawab, "Aku jarang sekali berqurban, tapi insya'a Allah, aku hampir tidak pernah lalai mengeluarkan zakat maal sbg kewajiban agama; bahkan, infak dan sedekah pun, hampir tidak pernah lalai aku laksanakan tiap bulan. Aku tidak harus menunggu tiap tahun untuk melaksanakan ibadah qurban yang berada pada posisi "sunnah", bukan wajib". Sang kawan itu balik bertanya, "Lantas, apakah kamu sudah menyisihkan sebagian hartamu untuk zakat maal...?!" "Benar juga ya. Aku malah lalai mengeluarkan zakat maal itu. Jangankan tiap bulan, di saat Ramadhan saja, aku hanya mengeluarkan sebagian hartaku, entah prosentase nya sudah masuk kategori zakat maal atau belum...?!", sang petinggi mencoba menanggapi dengan suasana gamang.
Dalam suatu berita disebutkan bahwa sebuah sekolah unggulan berstatus International Islamic School, dengan bangganya mengumumkan bahwa tahun ini, panitia qurban di sekolah itu menerima puluhan ekor sapi dan ratusan ekor kambing. Woouw...! Salah satu orangtua di sekolah itu, bercerita bahwa dirinya bersama kawan2 nya telah berqurban satu ekor sapi dengan harga hampir 20 juta. Temanku juga bercerita bahwa tahun ini dia berqurban satu ekor kambing seharga 2.5jt. Jelas terlihat raut muka penuh bangga dan sumringah. Ada banyak cerita dan berita yang menampakkan suasana penuh bangga berbalut citra iman.
Kalau kita saksikan, "gemuruh tahunan" untuk berqurban, hampir sama hingarnya dengan gemuruh tahunan zakat harta (maal) menjelang Hari Raya Idul Fitri. Masyarakat digiring untuk meluapkan semangat berqurban dengan sapi dan kambing. Yang kemudian muncul adalah, adanya "parade hewan" yang habis dimakan oleh jutaan manusia. Ya, daging qurban itu habis dimakan, kemudian selesailah sudah ritual penyembelihan tahunan itu. Masyarakat, khususnya golongan mustadh'afin, merasa mendapat perbaikan asupan gizi, hanya dalam hitungan hari. Setelah itu, kondisi mereka tetap seperti sedia kala: miskin dan hidup pas-pasan...!
Saya jadi bertanya-tanya; manakah yang lebih penting dalam melaksanakan ajaran Islam: menempatkannya sebagai "agama ritual" atau "agama faktual"...?
Hemat saya, yang faktual harus diutamakan daripada yang ritual. Faktual akan melahirkan dinamisasi, ritual hanya melahirkan staknasi. Faktual lebih melihat konteks, ritual hanya melihat teks. Faktual lebih melihat realitas, ritual hanya melihat idealitas.
Dalam konteks Hari Raya Idul Adha, tentu dalam kaitannya dengan sembelihan hewan qurban, seharusnya dicari "tafsir kontekstual" agar diperoleh sinergi yang positif dan produktif, antara banyaknya hewan qurban dan menurunnya angka kemiskinan. Harus dicari solusi alternatif dengan--misalnya--mencari jalan tengah antara yang konsumtif dan produktif.