Lihat ke Halaman Asli

Menjahit Masa Depan

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jejeran mesin yang menemani sang pemilik terlihat memadati lintasan trotoar perempatan besar dekat Stasiun Jatinegara. Bersama dengan suara mesin-mesin dari kendaraan yang lalu lalang melewati lokasi tersebut, yang tepat berseberangan dengan pintu perlintasan kereta Pisangan Selatan. Bapak separuh baya sedang bekerja. Mahmud , terbordir sebuah nama pada kain yang tergantung di depan mesin jahit.

Kakek dari tiga orang cucu ini lahir dan besar di Jakarta. Sang Ayah berasal dari Madiun dan Ibu dari Medan. Sulung dari 5 bersaudara ini sejak kecil tinggal di Cipinang. Satu orang anaknya sudah meninggal sejak kecil karena sakit keras. Anak sulungnya berusia 31 tahun sedangkan anak bungsunya berusia 12 tahun.

Malang, istrinya sedang dirawat di rumah sakit. Diagnosa dokter karena terdapat cairan bercampur darah yang menggumpal dan menutupi sebagian besar otak dan sudah hampir satu tahun dalam kondisi tidak berdaya. Tidak ada gejala aneh atau luar biasa ucapnya. Pusing-pusing yang dirasakan hanya dianggap sebagai sakit kepala ringan.

Pak Mahmud pernah melakoni berbagai profesi sebelum menjadi penjahit kaki lima. Beliau pernah menjadi seorang kenek truk yang bertugas mengantarkan bahan baku produksi sebuah pabrik ke luar daerah, pernah juga menjadi kenek bangunan yang diupah harian. Ayah dari tujuh orang anak ini sempat menyambung hidupnya menjadi tukang las dan bor pada sebuah perusahaan alat-alat elektronik. Baru saja 1 tahun bekerja beliau harus dipecat karena terbukti mencuri sebuah bohlam tembak produksi perusahaan.

Tidak pernah sekalipun bermimpi apalagi terlintas dalam benaknya menjadi penjahit kaki lima seperti sekarang. Bermula pada tahun 1980, Pak Mahmud mencari nafkah dengan menjadi pedagang jual-beli pakaian bekas di bawah jembatan dekat Cipinang. Kemudian pada tahun 1984 beliau belajar menjahit secara cuma-cuma selama 3 bulan pada seorang teman yang bekerja di pabrik garmen. Di bawah jembatan itulah, walau hanya 6 tahun lamanya, Pak Mahmud menjalani profesi yang ditekuninya hingga kini.

Penghasilan yang diperoleh Pak Mahmud dari jahitannya berkisar antara Rp 30.000 – Rp 200.000 per hari. Rata-rata penghasilan yang diterima pada hari libur maupun menjelang hari raya cenderung lebih besar daripada biasanya. Kadang-kadang ada pekerjaan jahitan secara borongan diluar vermak pakaian, yaitu jahitan awning dan tenda dekorasi. Hasil keringat Pak Mahmud digunakan untuk hidup berenam. Dari penghasilan yang diterimanya, anak-anak Pak Mahmud berhasil menyelesaikan studi sampai tingkat menengah kejuruan. Anak laki-lakinya mengambil jurusan mesin dan yang perempuan jurusan akuntansi.

Peluh dan tenaganya menjadi bukti kecintaan Pak Mahmud pada keluarga. Semua itu dilakukannya demi menutupi besarnya biaya operasi dan pengobatan sang istri. Padahal atas biaya rawat inap istrinya ditanggung oleh Pemerintah melalui jaminan kesehatan bagi warga tidak mampu secara ekonomi. Namun, bukan berarti semua biaya ditanggung oleh jaminan kesehatan tersebut. Harga Albumin yang harus dibeli Pak Mahmud untuk istrinya seharga Rp 1.000.000 per 100 cc.

Sejak istrinya sakit, Pak Mahmud baru mulai bekerja setelah pukul dua siang itupun langsung dari rumah sakit setelah semalaman menunggu sang istri. Setelah anaknya datang untuk menggantikan tugas menjaga, barulah beliau bekerja hingga pukul 10-11 malam. Apabila ada sedikit rezeki lebih, Pak Mahmud membelikan Nasi Padang untuk anak-anaknya. Namun, bila penghasilannya pas-pasan Pak Mahmud dan keluarga cukup puas makan nasi dengan semur jengkol favoritnya.

Para penjahit di trotoar tersebut hanya berlindung di bawah terpal ukuran sekitar 1,5 m x 1,5 m dari segala cuaca. Terpal yang minimalis, namun seperti itulah mereka berusaha bertahan dari terpaan hujan, angin, terik matahari dan bahkan petir yang menyambar-nyambar. Asap knalpot dari bis-bis besar dihadapan bukanlah hal yang janggal bagi mereka. Polusi udara itu kerap dirasakan selama 20 tahun terakhir dan itu menjadi kondisi yang biasa mereka hadapi. Ketika hujan turun, beliau mencabut listrik mesin jahit dan mengganti setelannya menjadi manual agar tidak terjadi korsleting. Terdapat banyak lilitan kabel pada mesin jahit yang dibeli sejak tahun 1980. Setelan listrik pada mesin itupun hasil karya kreatif utak-atik Pak Mahmud yang kini dapat mempermudah pekerjaannya. Bila cuaca buruk sepanjang hari, mereka sangat sedikit mendapatkan pelanggan.

Tidak jauh dari trotoar tempat para penjahit kaki lima tersebut terdapat Pos Polisi. Beliau menuturkan bahwa pernah suatu waktu mereka ditertibkan aparat dan mereka pindah tidak jauh dari situ, dekat sebuah taman. Karena lokasi trotoar lebih strategis dan lebih banyak mendapatkan pelanggan, mereka kembali lagi dan mulai kucing-kucingan dengan petugas. Hingga kini, tidak pernah lagi ada penertiban besar-besaran. Pak Mahmud mengungkapkan bahwa tidak ada biaya sewa lahan di atas trotoar, mereka hanya membayar iuran listrik kepada PLN sebesar Rp 2000 per hari. Menurut Pak Mahmud, antara petugas dan para penjahit disana saling mengerti karena sama-sama mencari sesuap nasi.

Ketika ditanya jenis pekerjaan seperti apa yang sangat diharapkan beliau menjawab seadanya, “Kalau saya mah nggak muluk-muluk. Kerja apa aja asal dapat duit, karena pendidikan saya rendah” , ucap Pak Mahmud. Kelak, pundi-pundi rupiah cukup didapatkan oleh pak Mahmud demi masa depannya dan keluarga. Semoga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline