Hari Rabu kemarin saya mengikuti mata kuliah Politik lokal. Pada kesempatan itu kami membahas sebuah tulisan dari seorang Freddy Numberi, seorang tokoh bumi Papua yang cukup berpengaruh. Papua, Sebuah Noktah Sejarah, tulisan tersebut dipublikasikan bertepatan dengan 50 tahun pasca bergabungnya Papua dengan Indonesia. Yang menarik adalah bahwasanya tulisan ini dibuat dari sudut pandang orang Papua, bagimana mereka memandang konflik yang terjadi selama ini.
Tanah Papua secara administratif terdiri atas Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Provinsi Papua terbagi atas 1 kota dan 19 kabupaten sementara Provinsi Papua Barat terdiri atas 1 kota dan 8 kabupaten. Papua bergabung dengan Indonesia pada 1 Mei 1963, merupakan yang terakhir bergabung dengan Indonesia. Mengapa demikian? Karena banyak kepentingan disana, mulai dari Belanda, Amerika, Australia, dan perusahaan transnasional sehingga Papua menjadi rebutan. Amerika kala itu mendukung Papua untuk bergabung dengan Indonesia, sebagai konsensinya adalah berdirinya Freeport pada tahun 1966 yang mendzolimi Papua sampai saat ini. Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969 dimana hasilnya 1.024 wakil dari Papua memilih bergabung dengan Indonesia menguatkan status politik Papua.
50 tahun pasca bergabung, Indonesia belum mampu mengindonesiakan Papua. Belum ada chemistry antara Papua dengan Indonesia, belum ada poin-poin yang merekatkan sebagai sebuah bangsa yang kuat. Bangsa merupakan sebuah konsepsi kultural, dimana bangsa lahir karena persamaan-persamaan diantaranya adalah persamaan nasib, ras, dan kebudayaan. Sampai saat ini persamaan nasib belum dirasakan oleh masyarakat Papua. Kemiskinan, kebodohan, kesehatan yang buruk, ketidak adilan, dan kekerasan (K5) masih menjajah Papua dan menjadi alasan belum adanya chemistry Papua dengan Indonesia. Menurut hasil penelitian LIPI tahun 2004, sumber konflik di Papua mencakup empat isu , yakni sejarah integrasi dan identitas, kekerasan politik, kegagalan pembangunan, dan marjinalisasi orang Papua asli.
Sejarah integrasi dan identitas. Terdapat perbedaan tajam dalam konstruksi nasionalisme Indonesia dan nasionalisme Papua. Para nasionalis Indonesia menganggap Papua merupakan bagian dari masyarakat Indonesia terlepas perbedaan ras maupun kebudayaan. Namun menurut nasionalis papua, ke-papua-an didasarkan pada perbedaan ras antara orang Indonesia ras Melayu dengan orang papua ras Melanesia. Nasionalisme Papua tersebut menurut Chauvel (Muridan S. Widjojo, dkk, 2008: 9) dibentuk oleh empat faktor utama, yaitu kekecewaan sejarah pengintegrasian papua dengan indonesia, persaingan elite papua dengan pejabat-bejabat Indonesia yang mendominasi pemerintahan sejak periode Belanda, pembangunan ekonomi dan pemerintahan di papua melanjutkan sense of different, dan banyaknya pendatang dari luar Papua yang menimbulkan perasaan bahwa orang papua termarginalkan.
Kekerasan politik. Konstruksi nasionalisme Indonesia didefinisikan secara militeristik, bahwasanya keutuhan NKRI adalah harga mati dan gagasan untuk memisahkan diri dari NKRI adalah melawan hukum. Di masa Orde Baru negara direpresentasikan oleh militer. Gerakan protes yang dilakukan oleh rakyat Papua terhadap kebijakan yang memarginalkan mereka dihadapi dengan pendekatan keamanan. Pendekatan keamanan tersebut masih nampak sampai saat ini meskipun Orde Baru telah jatuh. Negara hadir di Papua dalam bentuk kekuatan-kekuatan militer. Pengiriman pasukan selalu dilakukan untuk merespon indikasi munculnya gerakan separatisme. Hal tersebut merupakan buah dari pemerintahan yang teknokratik dimana kebijakan selalu dibuat top down. Mereka yang dipusat seolah-olah yang paling tahu mengenai masalah di Papua dan merumuskan kebijakannya.
Kegagalan pembangunan. Pembangunan ekonomi dan migrasi di Papua pada masa Orde Baru yang dimaknai negara sebagai usaha peningkatan kesejahteraan dipandang oleh rakyat Papua sebagai upaya eksploitasi sumber daya alam Papua dan marginalisasi rakyat papua. Di era reformasi, keberadaan Otsus tidak menjamin terciptanya kesejahteraan dan pembangunan ekonomi untuk rakyat Papua. Yang relatif lebih diuntungkan dari pembangunan di tanah Papua adalah warga pendatang.
Marginalisasi orang Papua. Marginalisasi yang dialami orang Papua tercermin dari beberapa aspek yakni demografi, sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya. Jumlah orang asli papua mengalami penurunan sebagai akibat dari banyaknya pendatang. Ada kekhawatiran orang asli papua akan menjadi minoritas di atas tanahnya sendiri dan mempunyai posisi yang lemah dalam politik. Selain itu dalam segi budaya, banyak orang asli papua yang merasa ekspresi budayanya selalu dicurigai terkait dengan praktik politik separatisme.
Dari hal di atas maka diperlukan pemahaman yang tepat dari semua pihak baik pemerintah pusat, TNI, masyarakat Papua, dan pihak-pihak lainnya terhadap konflik di Papua sehingga akan tercipta langkah-langkah konstruktif dan progresif yang akan bermuara pada terciptanya chemistry antara Papua dengan Indonesia.
Referensi: Muridan S. Widjojo, dkk. 2008. Papua Road Map. Jakarta: LIPI, Yayasan TIFA, Yayasan Obor Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H