Lihat ke Halaman Asli

Si Ibu dan Keluarganya

Diperbarui: 14 Februari 2016   20:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

 

Pagi kemarin masih bahagia bu…?
Kau bangun di hulu subuh untuk mengebul di dapur sakralmu
Tempatmu menanak butir kesabaran sampai lebih matang dari usiamu
Senyummu, senyum kesadaran di tepi penggorengan
Kesadaran yang dalam mencekik kebutuhan perut hari ini…
Esok pagi…
Esoknya lagi…

Pagi kemarin masih bahagia bu…?

Lelakimu masih mendengkur di atas kasur,
Pulang di pangkal pagi bersama sekantung duit yang tabu kau sentuh
Duit haram yang esok bertambah haram tergantung peruntungan lelakimu

Sekarang, dia masih tidur bu, tak akan makan nasi tempe buatanmu
Mungkin lelakimu kenyang bu, sudah makan pahit manis kekalahan
Dengan sedikit asam-garam kemenangan.

Nanti kalau dia terjaga,
dia akan lari ke warung,
lupa kalau dia punya dapur…

Lupakan bu, makan saja nasi tempenya.
Untuk tenagamu mencuci baju anak-anak borjuis di kampus hebat itu

Pagi kemarin masih bahagia bu…?

Sulung laki-lakimu juga masih tidur, setali tiga uang bapaknya!
semalam suntuk dia tertawa dan nyanyi-nyanyi di poskamling RT. 4
Sekali bersendawa, nafasnya sudah seperti comberan neraka
Kau bahkan terheran-heran bu makhluk itu keluar dari rahimmu
Minta uang seperti minta permen

Pagi kemarin masih bahagia bu…?

Anak keduamu, satu bulan tak ingat rumah orang tuanya.
Dia amnesia statusnya dalam akta keluarga.
Kau bilang dia bahagia dengan dandanan nan aduhai.
Keluar rumah menggoda anak-anak tetangga.
Dibawa bos preman pasar ke ibukota,
dijajakan murah-meriah pada lelaki tak berwajah

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline