Oleh: Taring
DUDUK DI PELANTAR -- bukan made in China -- sambil menikmati; senja, gugusan pulau, nelayan bersama perahunya, mangrove yang dihinggapi sekawanan burung, serta gemulai nyiur yang mirip tarian Melayu, jadi kebahagiaan tersendiri bagi yang mengalaminya. Harus diakui pemandangan seperti itu memang langka di Pulau Batam yang terus melaju -- untuk Indonesia Maju -- dalam mengejar Singapore.
Hanya adzan -- berlanggam Melayu -- yang dapat menghentikan saya menikmati ketentraman seperti di atas, sembari menyaksikan anak kecil, pemude, hingga tetua setempat melangkah ke masjid. Usai shalat, teman saya dan ibunya -- keturunan Melayu -- menghidangkan menu 'tutup puasa' yang membuat kami menyantapnya dengan khusyuk. Di lidah terdeteksi kenikmatan yang belum mampu diimbangi restoran mewah. Selain kekentalan cita-rasa Melayunya, juga karena hasil alam -- pulau dan laut -- yang tidak sempat sembunyi berhari-hari di markas pendinginan.
Realita Desa Monggak tersebut merupakan cuplikan kebahagian penduduknya, juga kehidupan orang Melayu yang mendiami berbagai sisi Pulau Rempang. Penyebutan 'desa' pada daerah yang secara administratif berada di Kecamatan Galang -- Kota Batam - tersebut merupakan kebiasaan lama, juga 'salah satu' bukti kalau penduduknya sudah ada sejak masih tergabung dengan Kabupaten Kepulauan Riau hingga tahun 2002.
Menyikapi ambisi istana yang akan menyulap Rempang jadi Rempang Eco City -- 'Rempang Ego City' begitu teman saya yang memproduksi kaos ecoprint menyuarakannya, sudah banyak yang menyadarkan lewat kitab Tuhfat Al-Nafis -- karya Raja Ali Haji -- yang selesai tahun 1865 sebagai dalil historisnya. Bahwa mereka yang mendiami Pulau Rempang, Galang, dan Bulang adalah keturunan dari prajurit setia Kesultanan Riau Lingga dibawah pimpinan Raja Haji Fisabilillah dan Sultan Mahmud Riayat Syah semasa Perang Riau. Gugusan pulau tersebut dijadikan basis pertahanan dalam menghadapi Belanda. Dalam buku 'Raja Haji Fisabilillah-Hannibal dari Riau' juga ditemukan kutipan serupa, bahwa mereka yang sejak lama di sana dikatakan sebagai 'Pasukan Pertikaman' -- pasukan elitnya kala itu.
Terdapat 16 Kampung Tua yang sudah berakar di Rempang. Kebahagiaan seperti yang saya paparkan sebelumnya tidak mampir lagi di mata bila menjelma jadi Rempang Eco City lewat hak eklusif PT MEG -- semula saya kira Memajukan Ekonomi Golongan. Tentu masyarakat Melayu di sana akan kehilangan entitas dan identitasnya jika pemerintah pusat lebih menuruti keinginan investor dari pada keinginan masyarakat asli -- salah satunya Amlah yang berusia 103 tahun.
'SALAH BESAR' bila ada suara sumbang atau fals dari pusat -- bukan di perut -- yang mengatakan kalau Rempang belum pernah digarap dan dilihat sebelumnya. Selama ini sekolah negeri dan Puskemas di sana dianggap apa? begitu juga TPU yang pernah dibuat demi memenuhi dahaga mereka yang haus suara setiap lima tahun sekali. Mustahil yang; pergi sekolah, berobat, dan memasukkan pilihannya ke kotak suara adalah makhluk gaib, ini bukan negara hantu!
Kunjungan ke Monggak membuat saya mengetahui keberadaan seorang kakek -- kini almarhum -- yang fasih berbahasa Jepang, bahkan bisa melantunkan beberapa lagu Jepang yang dipropogandakan tentaranya sebelum tahun 1945. Terlalu banyak bukti yang memaparkan kalau mereka sudah hidup dalam lintasan zaman, jauh sebelum negeri ini memproklamirkan kemerdekaannya. Apakah kemalasan berliterasi -- menelusuri masa silam -- telah melenakan penyelenggara negara untuk menyingkirkan masyarakat adat dari tanah yang diperjuangkan pendahulunya saat melawan penjajah? Atau sudah tahu, namun tetap 'berkeras hati' menghapus orang Melayu dari tempat tembuninya ditanam? Betapa saya sepakat dengan lirik lagu Iksan Skuter, "Negara bukan lagi pelindung bangsa, agraria dicekek lehernya."
Kampung Tua yang ditetapkan sebagai 'Cagar Budaya' merupakan pembeda antara lahan yang dimukimi penduduk asli dengan pendatang, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam Tahun 2004 -- 2014, BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1, poin at. bahwa Perkampungan Tua adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal penduduk asli Kota Batam sebelum tahun 1970 saat Batam mulai dibangun, yang mengandung nilai sejarah, budaya tempatan, atau agama yang perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya.
Kepala Badan Pertahanan Nasional (BPN) Kota Batam memaparkan ada 37 titik Kampung Tua di Batam, sedangkan Mentri Agraria dan Tata Ruang kala itu mengatakan bahwa 21.180 kepala keluarga yang menghuni kampung tua bisa mendapatkan Sertifikat Hak Milik (sumber: Media Center Pemerintah Kota Batam, 21 Juni 2019). Kampung Tua tersebar di 9 kecamatan dan 18 kelurahan, luas keseluruhannya adalah 1.103,3 Ha. Masalahnya, belum seluruh masyarakat Kampung Tua mendapat SHM (Sertifikat Hak Milik), termasuk di Rempang. Sejauh ini masih legitimasi berupa gapura dan monumen yang diberikan. Hak agraria mereka berupa pengakuan di atas kertas masih 'menggantung' di langit bertabur janji -- bukan bintang.