Saat Prof. Dr. H. Rusydi AM, Lc., M.Ag (selanjutnya disebut Prof. Rusydi) mengirim autobiografi Bakti Tiada Henti dan mengamanahkan saya untuk menyuntingnya, saya langsung menyanggupinya. Selain menjalankan amanah, saya juga tertarik dengan isinya karena ada "sesuatu" yang berbeda. Buku ini bukan hanya merekam perjalanan hidup tapi juga dilengkapi dengan catatan pemikiran Sang Profesor.
Sebagai praktisi penulisan-penerbitan, saya banyak terlibat dalam pendampingan penulisan dan penyuntingan. Dalam pendampingan penulisan--dan bahkan penulisan bayangan--saya kerap memandu para tokoh dan akademisi saat menulis biografi/ autobiografi melalui interview, karena di antara mereka yang cerdas dan kaya gagasan itu hampir tidak ada waktu untuk menulis atau ada juga yang "lemah" dalam menuangkan gagasannya ke dalam bahasa tulisan. Merekalah dalam dunia penulisan disebut sebagai "Author" yang butuh didampingi oleh "Writer".
Bagaimana dengan buku Bakti Tiada Henti yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Rusydi AM, Lc., M.Ag (selanjutnya disebut Prof. Rusydi) ini? Ternyata Prof. Rusydi bukan hanya author, tapi juga writer yang mampu menuangkan gagasannya ke dalam bahasa tulisan.
Oleh karena itu, dalam hal ini saya tidak melakukan pendampingan penulisan apalagi penulisan bayangan. Saya hanya melakukan tugas sebagai editor baik dalam lingkup mechanical editing, substantive editing, structural editing, developmental editing, maupun comprehensive editing.
Dari tugas tersebut tentu yang terberat adalah menyunting secara total/keseluruhan (total/comprehensive editing). Kalau sekadar mengoreksi salah tik saja tentu semua orang dapat melakukannya. Salah-salah editor memutuskan, maka tentu akan fatal terhadap "nasib" naskah, dan editorlah yang akan kena semprot.
Oleh karena itu, saya sangat hati-hati. Saya mesti mengenali gaya penulisan (writing style) Sang Profesor secara detail, karena gaya satu penulis dengan penulis lainnya tertentu berbeda.
Gaya menulis Buya Hamka, misalnya, tentu akan berbeda dengan gaya menulis M. Natsir. Gaya menulis Prof. Rusydi tentu akan berbeda dengan Prof. Syafruddin Nurdin (yang menulis Pengabdian Tanpa Akhir), walaupun sama-sama seorang guru besar. Mujurnya, saya telah mengenal Prof. Rusydi jauh sebelum naskah beliau dikirimkan kepada saya.
Pertemuan dengan beliau (di Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat lokal Payakumbuh) ini dinisiasi oleh salah seorang mahasiswa beliau yang juga merupakan kakak kandung saya, yaitu Dr. Asep Ajidin, M.H. Melalui Aa Asep--panggilan saya ke Dr. Asep Ajidin, M.H.--inilah saya menggali informasi Sang Profesor, sekaligus berdiskusi soal naskah autobiografi ini. Maka, setelah mengetahui siapa sesungguhnya Prof. Rusydi ini, semakin terkumpul kekuatan saya untuk memberanikan diri menyunting buku ini.
Dari perjalanan hidup Prof. Rusydi saya 'sedikit' memiliki kesamaan. Sama-sama dari keluarga sederhana (secara ekonomi). Sama-sama orang kampung.