17 September 1904. Empat hari sejak kelahiran anak pertama sekaligus terakhirnya, Kartini meninggal dunia. Saat itu umurnya masih 25 tahun.
Komunis, Kapitalis, Materialistis--yang jelas, Kartini punya mimpi bahwa dengan gagasannya yang menentang budaya jawa, suatu hari perempuan pribumi dapat terpandang layaknya perempuan-perempuan Eropa.
Saat itu--abad 19--sangat mungkin bagi orang-orang pribumi yang dalam keadaan tertindas mendukung begitu saja opini Kartini. Namun, sekarang, di saat Indonesia telah merdeka, budaya daerah tak lagi punya esensi--ia terlupakan. Indonesia tak lagi membanggakan ciri khasnya.
Sebagai seorang pahlawan nasional, dapat dikatakan, perjuangan Kartini yang paling berarti adalah lewat surat-suratnya. Akan tetapi ada beberapa kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Kecurigaan ini muncul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis, dan J. H. Abendanon--orang yang dianggap sebagai penghimpun surat-surat Kartini--adalah seorang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda yang sangat berjasa dalam menerapkan politik etis.
Kita tahu bahwa politik etis itu dilakukan sebagai balas budi pemerintah kolonial Belanda kepada penduduk pribumi yang telah beratus-ratus tahun dipaksa kerja rodi. Programnya sendiri terangkum dalam Trias Van deventer. Surat-surat Kartini yang dianggap palsu itu, jika memang benar-benar palsu, bisa jadi ada untuk mengkampanyekan politik etis.
Bagaimanapun, emansipasi di Indonesia belum emansipatif. Masih banyak rakyat yang hidup tragis gara-gara penyelewengan hak politis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H