Lihat ke Halaman Asli

Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Kompetensi Siapa?

Diperbarui: 27 Februari 2016   17:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ekonomi Syariah (http://www.dream.co.id/dinar/ekonomi-syariah-ambil-alih-sistem-ekonomi-dunia-140424f.html)"][/caption]Indonesia sebagai negara dengan mayoritas muslim tentunya harus memiliki peraturan yang terpancar dari akidah Islam seperti sistem ekonomi Islam yang memiliki karakter khas dan manusiawi. Sistem Ekonomi Syariah dibangun di atas pondasi akidah Islam. Akidah yang dimaksud adalah haq karena berasal dari Allah yang dibawa kepada umat manusia melalui Muhammad Rasulullah SAW. Namun seiring dengan perkembangan ekonomi syariah di masyarakat, tentunya perselisihan ataupun sengketa selalu terjadi.

Secara yuridis, amanah UUD 1945 pasal 24 dan 25 dirumuskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh: a) Peradilan Umum; b) Peradilan Agama; c) Peradilan Tata Usaha Negara; dan d) Peradilan Militer. Pasal-pasal yang mengatur tentang sengketa merupakan ranah Yudikatif bukan eksekutif.

Gerakan reformasi pasca runtuhnya kekuasaan orde baru berimbas kepada amandemen UUD 45 dan berlanjut salah satunya kepada undang-undang peradilan agama Nomor 7 Tahun 1989 yang diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan terakhir dengan UU No. 9 Tahun 2009. Amandemen ini melahirkan paradigma baru bagi peradilan agama, setidaknya ada 2 hal utama yaitu mengenai kedudukan peradilan agama dan kewenangan peradilan agama.

Adanya kewenangan baru peradilan agama berdasar UU No. 3 Tahun 2006 tentang ekonomi syariah ternyata masih terjadinya tarik ulur dengan peradilan umum, hal ini berkaitan dengan “sengketa milik.” Berkaitan dengan “sengketa milik”, undang-undang No. 7/1989 menjelaskan: “dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.” Walaupun sudah ada perubahan undang-undang terkait kewenangan peradilan agama, tapi “sengketa milik” masih dianggap kewenangan peradilan umum termasuk dalam hal ini dalam ranah ekonomi syariah.

Yang sebenarnya, dalam pasal 50 UU No. 3/2006, apabila terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama, maka dalam penjelasan pasal tersebut memberikan solusi tentang cara penyelesaian sebagai berikut: ketentuan ini memberikan wewenang kepada pengadilan agama untuk sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam pasal 49 apabila subjek sengketa antara orang-orang yang beragama Islam.

Permasalahan dari pasal 49 UU No. 3/2006 memunculkan pertanyaan apakah dengan pasal UU tersebut yang muncul belakangan berlaku teori Lex posterior derogate Legi priori. Sehingga semua pasal yang menyangkut kewenangan pengadilan Negeri dalam UU Kepailitan, UU arbitrase, UU Hak Tanggungan, UU Fiducia, UU Hipotik Kapal harus dibaca menjadi wewenang Pengadilan Agama.

Tentunya hal ini merupakan tantangan di lingkungan peradilan agama, karena terdapat golongan yang meragukan kompetensi peradilan agama (PA) antara lain menganggap aparat PA yang sebagian besar mempunyai background disiplin ilmu syariah dan hukum kurang memahami aktifitas ekonomi baik yang bersifat mikro maupun makro, juga kegiatan di bidang usaha sector riil, produksi, distribusi dan konsumsi. Selain itu aparat dianggap masih gagap terhadap kegiatan lembaga keuangan syariah sebagai pendukung kegiatan usaha riel, seperti Bank, Asuransi, Pegadaian, Multifinance yang bersifat syariah. Namun menurut kami, amanah undang-undang  tetap harus dijalankan, ragu atau tidak maka tugas pemerintah dan lembaga peradilan untuk mengembangkan dam menjalankan amanah tersebut.

Akhir tulisan ini kami simpulkan bahwa sengketa milik menurut UU No. 3/2006 yang bukan merupakan PA adalah bila terpenuhi dua syarat, yakni: a) Pihak yang mengajukan sengketa non Muslim, b) Pihak tersebut telah mendaftarkan perkaranya ke Pengadilan Negeri terhadap objek yang sama. Syarat ini merupakan syarat kumulatif dan bersifat bindende (mengikat).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline