Lihat ke Halaman Asli

Makam Para Wali Bukan Berhala

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Diberitakan bahwa Kementerian Agama (Kemenag) berjanji akan menarik buku panduan guru tentang Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) yang di dalamnya menyebutkan bahwa makam para wali sebagai contoh berhala masa kini (Republika, Jumat 19/9/14). Hal itu dilakukan setelah adanya laporan dari seorang Kepala Madrasah Tsanawiyah (MTs) Irsyaduth Thullab, Faiq Aminuddin, yang menyatakan protesnya atas isi buku tersebut.

Dari kejadian itu, tentunya harus menjadi perhatian serius dari pihak Kemenag bahwa sebelum sebuah buku diterbitkan hendaklah kandungannya diperiksa dahulu secara teliti dan menyeluruh agar tidak menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat atas masuknya propaganda kelompok tertentu yang bisa dianggap sebagai menyerang keyakinan mereka. Itu sangat penting dilakukan mengingat beragamnya keyakinan keagamaan dalam masyarakat kita, yang dikhawatirkan bisa menyulut terjadinya konflik dan tindakan kekerasan di tengah masyarakat.

Di samping itu, pihak Kemenag hendaknya harus pula meneliti buku-buku pelajaran agama untuk madrasah atau pun sekolah-sekolah umum yang digunakan sekarang ini, karena boleh jadi  di dalamnya mengandung suatu ajaran atau paham yang dipandang kontroversial dalam masyarakat kita. Di dunia Islam memang ada paham yang menganggap perbuatan umat Islam seperti ziarah ke kuburan para wali, memperingati maulid Nabi, sebagai musyrik dan bid’ah. Namun, dengan melihat kultur masyarakat kita, tentunya paham seperti itu tidak terlalu cocok untuk diangkat dan disebarluaskan, terlebih lagi apabila masuk ke dalam materi ajar untuk para siswa di tingkat dasar dan menengah.

Cukup wajar kalau ada penentangan terhadap paham seperti itu, karena menurut sejarahnya ada sekian banyak tindakan intoleran atas nama pemurnian agama berupa perusakan dan penghancuran terhadap warisan sejarah Islam seperti makam, bangunan, dan benda-benda bersejarah lainnya. Tak heran, kalau belum lama ini, timbul kehebohan di kalangan umat Islam, ketika munculnya pemberitaan bahwa makam Nabi Muhammad Saw di Masjid Nabawi akan dipindahkan ke pemakaman Baqi. Bahkan, beberapa waktu lalu, di negeri kita pernah juga ada kejadian berupa pengrusakan terhadap makam seorang cucu Sri Sultan Hamengkubuwono VI di Pasarean Karang Kabolotan, Semaki, Umbulharjo, Yogyakarta. Menurut kesaksian dari salah seorang penjaga makam menyatakan bahwa pelakunya adalah segerombolan orang dengan ciri-ciri tertentu dan mereka menuliskan di batu nisan dan lantai kata-kata “syirik” dan “ haram”.

Dari beberapa kejadian tersebut seharusnya menjadi peringatan bagi semua pihak mengenai perlunya pemahaman yang lebih komprehensif dalam soal-soal keagamaan, khususnya mengenai masalah yang mendasar seperti tauhid dan syirik. Untuk itu diperlukan keluasan fikiran dan kelapangan hati dari berbagai pihak di kalangan umat Islam, untuk tidak menjadikan isu-isu kontroversial seperti ziarah ke makam wali dan sejenisnya itu sebagai bahan dakwah di tengah-tengah umat yang berkonotasi negatif. Hal itu penting untuk diperhatikan terlebih lagi dalam kenyataannya di kalangan ulama Islam sendiri mengenai hal tersebut terdapat pandangan yang berbeda.

Tolok Ukur Tauhid dan Syirik

Memang betul, ada nash-nash di dalam Alquran dan Hadis yang menyatakan bahwa ibadah dan permohonan itu hanya boleh ditujukan kepada Allah Swt semata-mata dan kita dilarang untuk melakukan perbuatan syirik dalam ibadah. Namun, masalahnya sudahkah masalah tauhid dan syirik atas suatu perbuatan itu dipahami secara benar, dan apakah layak kuburan para wali itu dianggap sebagai berhala dan karena itu boleh dihancurkan?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu kita harus mengetahui apa yang menjadi tolok ukur dari suatu perbuatan untuk dihukumi sebagai tauhid atau syirik. Menurut penjelasan para ulama untuk menentukan suatu perbuatan atau ibadah dikategorikan ke dalam tauhid atau syirik adalah terletak pada apa yang menjadi i’tiqad (dasar keyakinan) seseorang dalam melakukan perbuatan. Misalnya, ketika seorang minum obat dan dia meyakini bahwa Allah Swt telah memberikan khasiat tertentu dalam obat tersebut sebagai penyembuh, maka itu termasuk tauhid. Namun, sebaliknya kalau dia meyakini bahwa obat itu yang secara mandiri menjadi sebab penyembuh sakitnya, itulah syirik. Hal semacam ini berlaku pula ketika seseorang meyakini bahwa Nabi Saw dan para wali, sekalipun mereka telah wafat masih dapat memberikan manfaat dan berkah bagi kita yang hidup, karena kemuliaan dan kedekatan maqam mereka di sisi Allah Swt.

Pada sisi lain, perlu diketahui bahwa di dunia ini tidak ada yang bisa kita minta dan dapatkan langsung dari Allah Swt, semuanya harus berjalan melalui perantaraan (wasilah), karena demikianlah hukum penciptaan yang telah ditetapkan oleh Allah itu sendiri, yang terjadi melalui rangkaian hukum sebab-akibat. Jadi kalau orang ingin kenyang perutnya dia harus makan terlebih dulu dan untuk makan dia harus membeli bahan makanannya melalui para pedagang demikian seterusnya. Demikian pula kalau orang mau sembuh dari sakitnya dia harus datang ke dokter dan makan obat dari resep yang diberikan dokter itu. Itulah yang dinamakan perantara atau sebab-sebab alamiah. Demikian pula kalau ada orang yg ingin mendapat berkah dari ulama, wali, atau Nabi dengan berziarah ke kuburan mereka itu juga merupakan hukum penciptaan yang terjadi melalui sebab-sebab supra-alamiah (spiritual), yang bagi kita umat Islam meyakini bahwa semua itu berlangsung sesuai dengan ketentuan (qadha dan qadar) Allah Swt. Jadi kalau ada orang yang bertabarruk dan tawassul di ka'bah, makam Nabi, makam para wali tidak serta merta boleh dicap syirik, bahkan memang seperti itulah seharusnya.

Di dalam Alquran ada banyak contoh yang bisa dikemukakan berkenaan dengan kedua hal tersebut. Berkaitan dengan penyembuhan melalui sebab-sebab alamiah misalnya disebutkan : “Di dalamnya (madu) terdapat kesembuhan bagi manusia.” (QS 16:69). Adapun contoh yang menunjukkan sebab-sebab supra-alamiah bisa dilihat pada kisah Nabi Ya’kub ketika menyentuhkan baju gamis milik Nabi Yusuf sehingga bisa melihat kembali dari kebutaan matanya. Allah Swt berfirman: “Maka tatkala telah tiba pembawa kabar gembira itu, diletakkannya baju gamis itu ke wajah Ya’kub, lalu kembali dia dapat melihat.” (QS 12:96).

Kemudian, salah satu dalil yang sering dijadikan sandaran dalam kaitan dengan penghancuran makam adalah sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim, yang berasal dari Yahya bin Yahya, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, bahwa mereka diberitahu (atau mendengar) dari Waki’ dari Sufyan bin Habi bin Abi Tsabit dari Abu Wa-il dari Abu Hayaj al-Asadi, katanya,  Ali bin Abi Thalib telah berkata kepadaku: “Inginkah Anda kuutus sebagaimana Nabi Saw telah mengutusku, yaitu hendaknya tidak Anda jumpai sebuah patung kecuali Anda menghancurkannya, dan tidak pula sebuah kuburan yang meninggi kecuali Anda meratakannya.”

Hadis tersebut telah dikritik oleh Syaikh Ja’far Subhani, dalam bukunya Tauhid dan Syirik: Studi Kritis Faham Wahabi, yang dinyatakan memiliki kelemahan baik dari sisi para periwayatnya maupun dilihat dari sisi penggunaannya sebagai dalil. Menurut Syaikh Ja’far Subhani, kalau pun mau diterima, sesuai dengan penggunaan kata musyrifa dan sawwaitahu yang ada di dalam hadis tersebut, hanyalah sebatas perintah untuk meratakan gundukan tanah yang menonjol, dan bukannya perintah untuk menghancurkan kuburan. Dan di dalam Alquran sendiri disebutkan, ketika mengisahkan para pemuda yang lari ke dalam gua untuk menyelamatkan diri dan mempertahankan keimanan mereka dari pengejaran pemimpin kafir waktu itu, bahkan tentang kebolehan membangun masjid di atas kuburan mereka yang terkenal sebagai ashabul kahfi itu, sebagai bentuk penghormatan dan pengingatan terhadap mereka. Firman Allah Swt:  “Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: Kami akan mendirikan sebuah masjid (tempat shalat) di atas mereka.” (QS 18:21).

Namun, dalam pandangan Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya, hadis seperti tersebut di atas itu telah dipahami secara literal, dan kemudian dijadikan dasar dalam ajarannya untuk menghancurkan kuburan dan komplek makam kaum Muslim, serta tempat-tempat bersejarah lainnya, karena mereka anggap sebagai sumber kemusyrikan. Bahkan, pada awal kemunculan gerakan yang mengumandangkan pemurnian agama itu, yang kemudian dikenal dengan istilah Wahabi, makam Nabi Muhammad Saw yang terletak di dalam Masjid Nabi Saw di Madinah, juga sudah hampir mereka hancurkan. Beruntunglah, setelah mendapat protes keras para ulama dari pelbagai negeri Islam termasuk dari ulama NU di Indonesia yang kemudian membentuk komite Hijaz, rencana jahat tersebut kemudian dapat digagalkan.

Dengan terungkapnya kasus buku “Makam Berhala” itu, sudah semestinya kita sebagai umat Islam untuk tampil memberi kesadaran kepada masyarakat, bahwa setiap Muslim berkewajiban untuk memuliakan dan menghormati sesama saudara Muslimnya. Dan lebih dari itu, kita juga harus memuliakan saudara-saudara kita yang telah meninggal dunia termasuk memelihara kuburan mereka. Apalagi, kalau kuburan itu merupakan makamnya orang-orang suci dan mulia, seperti para Nabi, awliya’, ulama, dan para pahlawan Islam, tentunya sangat layak untuk diziarahi sebagai penghormatan dan pengingatan kita terhadap jasa-jasa yang telah mereka lakukan. Oleh karena itu, sesuai dengan keterangan di atas, penghormatan dan ziarah yang biasa dilakukan oleh umat Islam di negeri kita seperti ke makam Wali Songo, itu tidak boleh dipandang syirik dan makam mereka itu bukan pula berhala!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline