Lihat ke Halaman Asli

Menghapus Dosa Spekulan

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

“Hukum Spekulan seberat-beratnya!” Itulah inti dari perbincangan mengenai kenaikan harga-harga di awal bulan Ramadhan. Nara sumber, atau dikenal dengan sebutan pengamat ekonomi, terdiri dari tiga orang, kalau tidak salah semua bergelar Doktor, menganalisa tentang dosa pedagang atas naiknya harga-harga di bulan Ramadhan pada acara di sebuah televisi swasta waktu itu.

Salah satu pengamat bahkan mengusulkan kepada pemerintah untuk memanggil para pemain pasar (pedagang besar) untuk menstabilkan harga dengan berbagai ancaman, terutama pemeriksaan pajak. Menakutkan! Tetapi, apakah benar dosa yang dituduhkan kepada para pedagang ini. Saya pribadi sebagai pengusaha akan mencoba melihat dari perspektif pedagang atas tuduhan ini. Baik pengamat ekonomi maupun pedagang mempunyai pandangannya masing-masing. Perbedaannya terletak pada penalti yang ditanggung atas analisanya, dimana apabila seorang pengamat ekonomi salah memberikan analisa, maka dia tidak menanggung resiko apapun. Dia akan tetap memegang jabatannya dan berkantor di gedung yang megah dan di lain kesempatan akan memberi pengamatannya lagi. Sedangkan, seorang pedagang yang salah menganalisa pasar maka ia bisa bangkrut dan tidak berdagang lagi, itulah resiko yang ia tanggung sehingga analisanya menanggung penalti yang berat atau mempunyai bobot yang berat.

Masalah kenaikan harga di bulan Ramadhan sudah berlangsung bertahun-tahun, dibicarakan berulang-ulang setiap tahun dengan hasil yang sama. Permasalahan yang ada adalah yang berbicara tidak paham, tetapi yang paham tidak berbicara. Tentunya yang sangat paham mengenai masalah ini adalah Bank Indonesia. Mengapa setiap kali mendekati bulan puasa kita mendapati banyak uang gres yang beredar? Dan, ini kelihatannya berhubungan dengan siklus usaha atau dikenal juga dengan money multiplier effect. Apakah Bank Indonesia mengkartalkan uang giral yang diciptakan Bank Umum atau menguangkan surat berharga pemerintah?

Sedikit melenceng, untuk diketahui bahwa Bank Umum menciptakan uang fiktif dari tabungan masyarakat. Singkatnya, bila saya menabung 100 perak di Bank Umum, dan bila BI mewajibkan Giro Wajib Minimum (GWM) 10% maka 10 perak harus didepositokan di BI dan sisanya 90 perak dapat disalurkan oleh Bank Umum sebagai pinjaman. Kemudian pinjaman 90 perak tersebut dibelanjakan oleh debitur di pasar dan bisa akan kembali ke Bank Umum sebagai tabungan 90 perak, yang kemudian oleh Bank Umum 10% disetor kembali sebagai GWM sisanya 81 perak disalurkan kembali sebagai kredit, dst. Sehingga, dalam hal ini dari tabungan 100 perak dapat tercipta kredit hingga sejumlah 1000 perak. Ini yang disebut Bank Umum menciptakan uang. Ada juga sebab pasokan uang bisa bertambah karena BI membeli Surat Utang Negara atau Surat Berharga lainnya. Ini rahasianya, BI dan pemerintah tidak membicarakan peningkatan kuantitas uang sebagai “inflasi”, mereka menghubungkannya dengan kenyataan harga barang-barang naik sebagai “inflasi.” Kemudian pemerintah mencari siapa yang bertanggung jawab untuk “inflasi,” yaitu naiknya harga-harga ini? Jawabannya adalah orang-orang jahat, yaitu mereka yang tidak tahu mengapa harga-harga naik tetapi berdosa karena meminta harga yang lebih tinggi.

Sekarang, mari kita bicara mengenai spekulasi. Kita mendapati paling banyak spekulan di pasar yang sangat dijunjung pemerintah yaitu pasar modal dengan ungkapannya yang terkenal “buy low and sell high.” Dari ungkapan ini kita menyadari bahwa spekulan adalah seseorang yang membeli dan menjual saham/komoditi dengan harapan mendapat keuntungan. Pemerintah mendukung peran aktif pasar modal demi kepentingan nasional yang pada kenyataannya spekulan yang berhasil di pasar modal bertindak atas dasar kepentingan pribadinya, dia tidak tahu ataupun peduli mengenai kepentingan nasional, apalagi mempromosikannya. Jadi, Pasar bergerak atas dasar doktrin bahwa setiap orang berupaya untuk dapat menggunakan modalnya sehingga memungkinkan menghasilkan nilai yang paling tinggi. Lazimnya, dia tidak bermaksud untuk memikul kepentingan masyarakat, ataupun tahu bahwa dia mempromosikannya. Niatnya adalah demi kesejahteraannya, demi keuntungan pribadinya. Tetapi, dengan mengejar kepentingan pribadi seringkali dia mendukung kepentingan masyarakat lebih berhasil dari pada ketika ia memaksakan diri dari awal untuk mempromosikannya. Hal ini berlaku juga untuk para pedagang di pasar, yang juga melakukan spekulasi.

Spekulasi yang dituduhkan kepada pedagang adalah kegiatan penggudangan bahan makanan pokok. Sebenarnya, hal ini tidak berbeda jauh dengan peran instansi pemerintah yang disebut BULOG. Instansi ini mengambil peran spekulan dalam menstabilisasi pasar bahan makanan pokok. Bulog mencoba mengendalikan batasan yang kabur antara menyimpan sedikit atau banyak bahan makanan pokok. Bedanya, tidak ada tanggungan penalti apabila Bulog melakukan salah langkah, karena bukan uang miliknya yang bertambah atau berkurang dalam kegiatan ini, sementara pedagang harus akurat memprediksi kebutuhan pasar karena harta pribadinya adalah taruhannya.

Keadaan demikian membuat pedagang harus efisien dalam melakukan spekulasi. Penolakan yang seringkali dikutip bahwa spekulan menyebabkan harga-harga naik. Tetapi, jika kegiatan mereka dipelajari lebih cermat, justru akibat keseluruhan dari kegiatan mereka adalah menstabilisasi harga, dan celah spekulasi terbuka karena terdapat kondisi-kondisi tertentu.

Spekulasi bisa berhasil apabila pedagang tepat meramalkan bahwa akan terjadi kelangkaan di kemudian hari. Tanpa kelangkaan di kemudian hari spekulasi hanya bisa berhasil dengan bantuan atau kesalahan kebijakan pemerintah, tetapi hal yang ini kita bahas di lain kesempatan saja. Sekarang, kita fokus saja pada pedagang yang menduga akan terjadi kelangkaan komoditi bahan makanan pokok di kemudian hari. Dia akan membeli dan menyimpan komoditi tersebut untuk disimpan sampai dengan waktu dimana komoditi tersebut akan langka sehingga dapat menjualnya dengan harga yang lebih tinggi dengan motif keuntungan pribadi. Kita teringat akan mimpinya Nabi Yusuf a.s. tentang tujuh sapi kurus memakan tujuh sapi gemuk. Dengan firasat yang hampir mendekati, tetapi tujuan dan motif yang berbeda para spekulan dengan kegiatannya mencari keuntungan pribadi, menyebabkan lebih banyak komoditi yang disimpan pada saat pasokan yang seharusnya cukup, tetapi hal ini akan mengurangi efek kelangkaan di kemudian hari. Jadi, tidak benar spekulan menyebabkan kenaikan harga, yang benar adalah ia menebar kenaikan harga lebih awal daripada kenaikan harga yang lebih tinggi di kemudian hari.

Apa pertanda-pertanda yang harus dilakukan apabila pedagang melakukan spekulasi? Bila terjadi hal demikian maka ini merupakan pertanda bagi masyarakat untuk melakukan hal yang serupa. Konsumen diharapkan untuk mengurangi konsumsi makannya dan tidak boros, petani meningkatkan hasil panennya, importir untuk mengimpor lebih banyak komoditi langka tersebut, kontraktor membangun gudang-gudang baru, dan pedagang menampung lebih banyak komoditi tersebut. Secara tidak langsung para spekulan mengarahkan kebijakan ekonomi.

Apa yang terjadi apabila spekulan salah mengkaji kelangkaan pasar? Bukankah kebijakan ekonomi menjadi salah langkah? Benar, akan terjadi kesalahan kebijakan ekonomi, tetapi konsekuensi finansialnya terlalu besar untuk pedagang yang tidak cakap mengkaji arah pasar untuk dapat bertahan sebagai spekulan.

Jadi, spekulan yang bisa bertahan hingga saat ini adalah spekulan yang sangat efisien sehingga mereka memberikan keuntungan terhadap ekonomi. Mereka menyeimbangkan harga-harga bahan makanan pokok. Di saat pasokan melimpah dan harga-harga rendah, mereka membeli dan menimbunnya sehingga harga-harga naik. Dan, di saat kelangkaan pasokan mereka menjualnya yang menyebabkan harga-harga turun.

Lain halnya, jika persoalannya harga-harga naik secara merata dan tidak turun kembali, itu dikarenakan meningkatnya pasokan uang. Artinya, lebih banyak uang mengejar barang yang terbatas, atau pasokan uang melebihi pasokan barang sehingga harga harus naik. Bila pedagang dilarang menaikkan harga akibatnya tidak ada yang mau berdagang rugi, yang ada adalah musibah kelaparan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline