Lihat ke Halaman Asli

Legitimasi Pemilu

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal legitimasi sedang hangat dibicarakan hari-hari ini. Pasalnya, kubu capres Prabowo-Hatta memutuskan mundur dari proses rekapitulasi karena menduga telah terjadi kecurangan yang masif. Mereka meminta KPU untuk menyelesaikan terlebih dahulu kecurangan yang terjadi, seperti jumlah pemilih di Papua yang hampir sama dengan jumlah penduduknya, dugaan penggelembungan suara di beberapa propinsi, dsb. Legitimasi presiden yang baru ditetapkan KPU sedang dipertentangkan, dan masing-masing kubu pendukungnya siap turun ke jalan. Jika hal ini tidak terselesaikan maka bisa jadi Presiden yang baru terpilih bisa-bisa tidak mempunyai legitimasi publik sama-sekali. Dan, ini berbahaya bagi sistem politik kita.

Barangkali kita jadi mempertanyakan kebenaran pendapat utama tentang demokrasi, yaitu bahwa demokrasi adalah mengganti cara kekerasan dengan surat suara. Bahwa, demokrasi menggantikan proses kegaduhan yang keras dan merepotkan dengan perubahan yang damai yang menyuarakan kehendak mayoritas. Memang, ada yang mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan mayoritas, dan ada juga yang menganggapnya sebagai cara minoritas mencoba menjadi mayoritas. Apapun definisinya, perubahan yang damai adalah pendapat yang dominan.

Pemilihan Umum (Pemilu) adalah cara perubahan yang damai. Pemilu menciptakan harapan dan pelajaran bahwa kedaulatan adalah milik seluruh penduduk Indonesia, dan satu-satunya sumber legitimasi adalah kejujuran dan kesucian proses demokrasi tersebut. Tidak ada orang, kelompok atau lembaga apapun dengan urgensi atau kebijakan apapun mempunyai hak untuk mengubah atau membatalkan proses ini.

Sebagai warga negara, saya sungguh-sungguh berharap Komisi Pemilihan Umum (KPU), lembaga yang menyelenggarakan Pemilu, mengerti betul bahwa kedaulatan milik rakyat, dan bahwa hanya secara khusus dan satu-satunya cara mengekspresikannya, oleh sebab itu satu-satunya cara memperoleh legitimasi, adalah melalui proses yang berintegritas. Integritas dari proses politik ini harus dipertahankan di atas segalanya. Nilai-nilai kejujuran dan kesucian pelaksanaan pemilu ditegakkan juga melalui wacana yang tidak meniadakan atau mengenyampingkan fakta-fakta kecurangan yang disampaikan pihak kubu capres Prabowo Hatta. Banyak yang berharap pihak KPU mengutamakan melaksanakan rekomendasi Bawaslu, atau mencoba mencari dan mencapai konsensus atas pengaduan-pengaduan yang disampaikan. Tidak menghiraukannya dengan alasan waktu yang mepet, yang sebenarnya masih cukup, membuat kecurigaan pemihakan penyelenggara pemilu ke kubu satunya.

Saya tidak percaya bahwa Mahkamah Konstitusi bisa memberi “legitimasi konstitusi” walaupun ditemukan fakta-fakta kecurangan. Artinya, bilamana fakta-fakta kecurangan dapat dibuktikan, maka secara prinsip hanya dengan menghormati proses demokrasi ulang yang dapat menjamin tidak menimbulkan kekerasan dan merupakan cara andal untuk merubah keputusan, membawa pejabat-pejabat KPU yang bertanggung jawab ke pengadilan dan, maka dari itu legitimasi dapat ditegakkan. Bila semua ini gagal, sementara pihak kubu Prabowo-Hatta dapat meyakinkan masyarakat telah terjadi kecurangan, maka cara terakhir mengoreksi penyimpangan ini adalah dengan melakukan civil disobedience (penentangan sipil) meski dalam kerangka atau batas-batas tertib warga negara. Kekerasan hanya akan mendelegitimasi logika demokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline