Lihat ke Halaman Asli

Singapura Stop Impor Gas Indonesia, Ancaman atau Peluang?

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Revolusi penemuan shale gas besar-besaran yang terjadi belakangan di Amerika melalui penerapan tekhnologi fracturing dan horizontal drilling telah membawa dampak signifikan atas perubahan natural gas prices di negara itu. Seperti dalam laporan tahunan Henry Hub Natural Gas Spot Price, sejak tahun 2009 harga gas di pasar Amerika anjlok tajam  dari 8.86 USD/MBtu menjadi 3.94 USD/MBtu, bahkan dari catatan di tahun 2012 cenederung menurun hingga 2.75 USD/MBtu. Apa yang terjadi di Amerika tersebut, dalam hal ini pasokan akan mengalami surplus (diperkirakan meningkat 49% pada tahun 2035) sehingga untuk menjaga keseimbangan harga gas dalam negeri maka Pemerintah Amerika akan mengekspor sebagian produksi gasnya tentunya setelah energy security domestiknya terpenuhi. Cerminan dinamika energy balance tersebut akan berdampak pada peta supply-demand dunia dan akan terus berkembang diikuti dan direspon negara-negara lainnya. Pada pertengahan bulan November 2013 lalu, seperti yang diberitakan The Straits Time, Singapura melalui Menteri Luar Negeri dan Hukum K. Shanmugam menangkap sinyalemen ini dengan ketertarikannya untuk mengimpor shale gas dari Amerika dalam bentuk LNG sebagai langkah diversifikasi pasokan energy dan buffer stock dalam rangka ketahanan energi di negaranya pastinya setelah pertimbangan melihat kesempatan ketika harga gas mengalami penurunan/murah.

Untuk memenuhi kebutuhan energi domestik terutama untuk tenaga listrik hampir 10% dari total konsumsi primary energy, Singapura hanya memanfaatkan gas bumi dengan mengimpor dari Indonesia dan Malaysia melalui pipa. Menangkap indikasi itu, Indonesia harus cepat mengambil langkah antisipasi sebagai respon seandainya jika Singapura berencana mengalihkan gas supply untuk impor LNG dari Amerika dan menghentikan impor gas melalui pipa dari Indonesia. Berdasarkan data statistik gas bumi Kementeria ESDM, ekspor gas melalui pipa ke Singapura terus mengalami kenaikan volume dengan rata-rata dari tahun 2004-2012 sebesar 293 MMSCF (20% dari total volume ekspor gas). Tentunya jika hal tersebut terjadi akan berdampak pada menurunnya penerimaan negara atas berkurangnya keuntungan hasil penjualan ekspor gas, namun dapat pula disikapi dengan bijak diartikan sebagai peluang bagi bangsa Indonesia.

Singapura mendapat pasokan gas dari Indonesia berasal dari lapangan Corridor Block, Sumsel yang dioperasikan ConocoPhillips dan dari Jabung, Jambi yang dioperasikan PetroChina melalui pipa transmisi ruas Grissik-Singapura milik PT Transportasi Gas Indonesia (TGI) menyalurkan 465 MMSCFD dan lapangan Natuna Sea Block A, West Natuna, Kepuluan Riau yang dioperasikan Premier Oil melalui pipa West Natuna Transportation System (WNTS) menyalurkan 325 MMSCFD; dimana kedua kontrak pembelian gas tersebut berakhir tahun 2023 dan Singapura memang tidak akan memperpanjangnya sehingga konsekuensinya terdapat volume gas yang tidak termanfaatkan dan pipa-pipa pengangkutan gas akan berstatus menganggur (idle).

Sementara berdasarkan Kepmen No. 2700/2012 tentang Rencana Induk Jaringan Transportasi dan Distribusi Gas Bumi Nasional (RIJTDGBN) untuk ruas pipa South Sumatera West Java (SSWJ) I terutama pada ruas Pagardewa – Labuhan Maringgai milik PGN, utilisasi gas sebesar 275 MMSCFD (masih terdapat space capacity dari total capacity pipa 530 MMSCFD). Melalui optimalisasi ruas transmisi SSWJ I, diharapkan alokasi gas ekspor ke Singapura tersebut dapat dialirkan sekaligus dapat menghidupkan kembali pipa eksisting yang idle dengan skema gas dari lapangan Natuna Sea Block A, West Natuna  diangkut melalui ruas pipa WNTS dengan tie-in di Pulau Pemping, Batam menyambung dengan pipa ruas Grissik-Singapura milik TGI (tentunya setelah amandemen kontrak jual-beli pengalihan gas atau swap – pasokan gas dari lapangan West Nantuna dialokasikan untuk kepentingan ekspor ke Singapura menggantikan pasokan gas dari lapangan Grissik yang telah dialihkan untuk memenuhi kebutuhan di Jawa) diteruskan melalui ruas Pagardewa – Labuhan Maringgai bagian SSWJ I milik PGN untuk disalurkan memenuhi kebutuhan Jawa Barat.

Selain untuk memasok kebutuhan gas bagi industri-industri di kawasan Pulau Batam dan untuk mengatasi krisis gas shortage di Jawa Barat, terutama untuk kebutuhan pembangkit listrik PLN Muara Tawar dan industri di kawasan Cikarang dan Cilegon; juga diharapkan mampu berfungsi sebagai buffer stock bagi FSRU Lampung milik PGN dan FSRU Jawa Barat milik PT Nusantara Regas (NR) yang telah ada untuk mendukung domestic gas supply atau dapat juga diperuntukkan sebagai gas interruptible bagi peningkatan oil lifting Chevron Pacific Indonesia (CPI) dan konsumen industri di Riau melalui pipa ruas Grissik-Duri milik TGI.

Berdasar data Kementerian ESDM, Indonesia memiliki potensial gas reserve raksasa di Natuna D Alpha, East Natuna dengan cadangan 46 TSCF yang akan berproduksi Thun 2027; tentunya akan menjadi kekuatan di sisi supply gas jika telah didukung dengan kematangan infrastruktur gas yang terintegrasi (integrated gas pipeline system) yang saling terkoneksi. Dengan implementasi pembangunan pipa transmisi gas baru yang menghubungkan lapangan gas East Natuna hingga ke Pulau Pemping, Batam sejauh ±400 km disambungkan dengan pipa eksisting ruas Grissik-Singapura milik TGI dan ruas SSWJ 1 milik PGN akan menjawab permasalahan penyebab minimnya infrastruktur gas dalam negeri karena tidak adanya ketersediaan sumber pasokan, sehingga tidak ada alasan lagi untuk tidak segera membangun pipa transmisi gas baru.

Setelah nantinya terbangun pipa gas yang membentang dari lapangan East Natuna terkoneksi ke pipa eksisting di Sumatera via Pulau Batam, sesuai teori ekonomi diharapkan dengan ‘melimpahnya’ gas supply  akan mendorong terciptanya struktur harga gas nasional yang murah atau setidaknya stabil dalam jangka panjang dengan neraca gas nasional yang berimbang (equilibrium) antara supply dan demand. Di tingkat end-user akan memperoleh kebebasan opsi dalam memilih harga termurah sebagai konsekuensi terjadinya kompetisi antar produsen/seller gas (free choice of supplier) dalam penyediaan gas dan customer service oriented.

Harapan bahwa Pemerintah jangan hanya terlalu sibuk mengurusi mengutak-atik formula penyesuaian angka dan batas quota subsidi BBM agar tidak menjebol anggaran APBN dan meningkatkan lifting minyak sesuai target produksi saja (trend-lining produksi menurun karena secara alami memang terjadi depletion cadangan), sementara negara-negara lain seperti Singapura berlomba membangun fasilitas-fasilitas storage dan regasifikasi LNG maupun CNG dengan memanfaatkan kesempatan harga gas murah dampak dari revolusi shale gas dunia; yang akibatnya Indonesia justru kehilangan moment tersebut untuk merintis kemandirian energi melalui optimalisasi supply dan ekstensifikasi infrastruktur gas dalam negeri. Indonesia (seharusnya) mampu mengubah ancaman menjadi peluang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline