Lihat ke Halaman Asli

Aku Malu pada Orangtua Muridku

Diperbarui: 21 Agustus 2016   09:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seperti hari-hari sebelumnya setiap pagi aku menunggumu di gerbang sekolah ini.Aku sadari murid-muridku berharap sesampai digerbang sekolah ada yang menunggu dengan  secercah senyuman yang menyambut kedatangannya.Aku sudah terbiasa digerbang sekolah itu , dengan ramah menyambut setiap siswa yang datang dan menyapa mereka dengan tulus menurutku. Dengan senyum itu seolah-olah  telah terbayar lelah para siswa yang sebelumnya bersiap-siap berkejaran dengan waktu dari rumah sampai ke sekolah. Kehadiranku sebagai penunggu gerbang itu, memberikan pengaruh yang besar secara psikologis bagi muridku,bahwa usaha mereka sejak malam hari belajar dan mempersiapkan jadwal pelajaran kemudian bangun pagi-pagi mandi, makan dan sebagainya, terbayar sudah.

Hiruk pikuk kendaraan siswa maupun orang tua siswa pengantar anaknya seolah olah tidak memberikan kesempatan penggunajalan lain untuk melintasnya.Satu persatu orang tua datang seraya tersenyum tulus menyapaku.Ada yang turun menanyakan kabarku,ada yang sekedar menundukan badanya menyapaku.Dalam hitungan hari aku hampir hafal dan mengenali wajah-wajah dan pribadinya.Mereka adalah pejuang-pejuang generasi tangguh yang tidak kenal lelah dan putus asa merajut masa depan putra putrinya.

Suatu waktu aku dikejutkan dengan kehadiran seseorang yang membuatku tarik nafas panjang.Orang itu tetap duduk diatas sepeda motornya dan sesekali memandangiku dengan tatapan yang tidak pernah aku dapatkan dari pengantar yang lain.Pakaian celana pendek ,kaos sinlet rambut terlihat tidak terawat,dan lengannya bertato.Hampir setengah jam ia mematung diatas sepeda motornya sambil memandangiku.Tiba tiba ia turun dari sepeda motornya berjalan mendekatiku.

Semakin dekat semakin keras detak jantung,keras,dan mengeras.”Mohon maaf pak Kepala,bolehkah saya minta tolong?”,sapanya dengan posisi badan menunduk dan kedua tangan disilangkan seolah olah memberikan penghormatan kepadaku.Jantungku masih berdetak keras karena aku belum bisa mempercayainya.”Bisa-bisa,apa yang bisa saya bantu?”,jawabku gugup.”Begini kemarin saya dengar anakku Rani disuruh bawa sapu oleh wali kelasnya,tapi rani lupa membawanya,jadi saya minta tolong untuk memberikan sapu ini kepada Rani”,lanjutnya sambil menyerahkan sebatang sapu lidi yang hampir ompong.Setelah sapu lidi itu diserahkan kepadaku ia pamit dan langsung mengendarai motornya.Sementara aku masih tertegun memandangi kepergianya.Aku masih belum percaya dengan kejadian yang baru saja aku alami tadi.

Keesokan harinya orang tersebut kembali mematung diatas sepeda motor pada posisi kemarin.Kali ini pandanganya lebih liar kesana sini ,sesekali melihat jam tangan yang ia kenakan.Aku semakin penasaran sebenarnya siapa orang ini.Seperti kejadian kemarin ia turun dari motornya mendekat kearahku sambil tangan dimasukan kesaku celana pendeknya.

”Pak Kepala sekali lagi saya minta tolong untuk memberikan uang saku Rani”,sapanya sambil tanganya menyodorkan uang kertas 10.000 ribuan yang tampak lusuh.Kali ini aku baru menyadari ketulusan orang tua Rani yang benar benar punya kepedulian dan kasih sayang terhadap putrinya.Aku malu pada diriku sendiri yang selama ini aku merasa telah mencurahkan kasih cinta dan kasih sayang pada murid-muridku.Namun kasih sayangku tidak bisa melebihi kasih sayang orang tua terhadap putra-putrinya di sekolahku.

Semoga menginsfirasi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline