Saya sedikit anti dan tersinggung kalau ada pejabat publik yang bagi-bagi uang publicy. Menurut saya itu penghinaan, atau kalau lebih halus itu strategi membangun ketergantungan dan membangun image bahwa dia baik. Padahal sebetulnya pejabat tsb gagal memahami perannya.
Sang pejabat sudah diamanati dengan jabatan, anggaran, fasilitas dan personel untuk melaksanakan berbagai pogram guna mengentaskan kemiskinan. Kalau dia sukses, harusnya tidak ada lagi bagi-bagi uan/barangg publicly karena sudah tidak ada kemiskinan.
Tetapi karena dia tidak mampu, maka dia bagi-bagi sebagai strategi untuk menutupi kegagalannya. tanpa sadar, dia menempatkan rakyat sebagai peminta-minta. Dan, bukankah bagi-bagi itu bisa dilakukan oleh siapa saja, bahkan anak kecil? Lalu, apa guna miliaran rupiah untuk melahirkan seorang pejabat negara kalau hanya bisa bagi-bagi?
Bagi-bagi itu tidak baik manakala tidak jelas peruntukannya. Sebagai orangtua atau paling tidak kita pernah kecil dan kita diajari bahwa uang itu tidak selamanya baik. Anak kecil tidak boleh memiliki uang yang berkelebihan alias secukupnya. Orang tua yang sayang akan anaknya akan mengajarkal hal ini. Biasanya orang tua menerapkan aturan yang berbeda: si adik yang mungkin belum sekolah mendapat lebih sedikit uang dari pada si kakak.
Sudah terbukti banyak anak gagal dalam pendidikan bahkan kehidupan karena ketidaktepatan alokasi uang oleh orang tua. Banyak juga kisah anak-anak disayangi (baca: dimanja) oleh orangtua dengan duit tapi gagal karena kurang kasih sayang. Sebaliknya banyak anak yang sukses karena sangat paham bahwa dibalik uang ada keringat dan pengorban sehingga peruntukannya tidak boleh asal. Dan bahwa untuk memperolehnya diperlukan kerja keras, bukan minta-minta.
Banyak studi terkait program pemberdayaan masyarakat termasuk pemberian bantuan langsung tunai (BLT) membuktikan bahwa analogi ini benar. Banyak bantuan yang tidak tepat berakhir tidak jelas. Akibatnya pengentasan kemiskinan terus tidak efektif. Ada penerima yang memperoleh terlalu sedikit dan ada penerima yang memperoleh terlalu banyak dari semestinya, dan ada penerima yang tidak seharusnya menerima bantuan.
Sedihnya, banyak dana pemberdayaan itu dilihat sebagai 'uang gratis': tidak perlu serius mengelola dan tidak perlu dikembalikan. Hal ini membudaya akibat ketidakeriusan pemerintah dalam mengelola dana pemberdayaan. yang salah tetap dibiarkan salah tanpa penegakan hukum. Yang tidak serius mengelola bantuan terus saja diberi bantuan.
Ketidaktepatan alokasi adalah salah satu kunci gagal/sukses program pemberdayaan masyarakat. Tetapi juga karena masyarakat melihat dana semacam itu sama seperti uang yang dibagi-bagikan para pejabat. Banyak pejabat bangga bagi-bagi uang tetapi sesungguhnya itu menyesatkan karena melahirkan ketergantungan.
Ada satu study baru yang menemukan bahwa budaya bagi-bagidi banyak negara di Asia/Afrika adalah salah satu penyebab kemiskinan. Sebaliknya study ini menemukan bahwa budaya kerja keras, menabung dan berharap pada diri sendiri adalah penyebab kemajuan barat. Di Asia/Afrika itu bukan hanya kaya dengan sumber daya alam, tetapi juga kaya dengan bantuan.
Namun, dampaknya kemiskinan manusia tetap menjadi momok berkepanjangan karena ketergantungan yang luas pada bantuan pemerintah. Dedangkan di barat itu, khususnya yag terletak di kutub utara itu masa kerja biasanya hanya enam bulan, selebihnya musim dingin. Sehingga orang barat harus kerja keras selama enam bulan agar tetap bisa bertahan hidup saat musim dingin tiba. Budaya ini kemudian membentuk ornag barat menjadi tangguh, terbiasa menabung dan mandiri.
Benar juga bahwa barat yang maju itu mengadopsi prinsip 'welfare state'. mereka yang tidak mampu secara fisik, tidak mempunyai penghasilan dan/atau tidak memiliki penghasilan yang layak itu mendapat bantuan dasar dari negara. Kebijakan ini mirip dengan amanat UUD1945 bahwa fakir miskin dan anak terlantar ditanggung oleh negara.