Lihat ke Halaman Asli

Siapa yang Salah?

Diperbarui: 23 Agustus 2024   12:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

                                Siapa Yang Salah?

   Setelah sekian lama bangsa indonesia merdeka, keinginan mewujudkan negara yang demokratis, adil, dan sejahtera ternyata belum juga tersinyalir. Bahkan sekarang ini, kecenderungan mulai muncul dan tampak bukanlah kemajuan, melainkan justru sebaliknya, kemunduran  dan keterpurukan. Satu kondisi yang sungguh sangat ironis dan menyedihkan. Hal ini karena tidak adanya kemampuan dari seluruh warga bangsa untuk bersama-sama membangun negeri ini. Padahal, dalam upaya membangun bangsa yang kuat dan demokratis, dibutuhkan partisipasi masyarakat dan keseriusan seluruh bangsa. Akan tetapi kenyataanya, selama ini peran serta masyarakat dalam pembangunan bangsa sering kali di abaikan atau bahkan mungkin sengaja di nafikan. Kondisi seperti ini tentu sangat tidak kondusif bagi sebuah bangsa yang sedang menata diri dan merancang masa depannya. Ia bukan saja menghambat proses pembangunan, akan tetapi lebih jauh lagi, ia justru akan menghancurkan bangsa kita sendiri.

   Yang saya rasa sangat penting adalah pengaruh globalisme pada bangsa, terutama pemimpin bangsa kita, dari segi exploitasi sumber daya, mediatisasi kecenderungan yang didikte, privatisasi, serta dereglementasi ekonomi dan desentralisasi administrasi negara. Pengaruh globalisme termanifestasi pula dalam ideologi yang berfungsi sebagai topeng, seperti sumber daya manusia yang rendah, pola fikir, sementara itu, generasi-generai baru yang sekarang tidak bersiap mendaki lereng kemajuan. Rakyat yang menderita tidak mempunyai  corong bicara  dan di lelapkan dengan berbagai macam hiburan ringan dan dangkal, massal, elektronis, dan global. Pengaruh media sosial seperti tiktok, instagram, dan lain sebagainya, mendoktrin anak bangsa secara signifikan.

   Cara berfikir yang lain lagi adalah yang dapat menerima ketidak selarasan dalam arti sinkron. Bermula dari paradoks, dari istilah bahasa Yunani Paradoxa kata kerjanya dokein, artinya berfikir dengan cara lain. Kata lain adalah heterodoxa, berfikir secara baru. Dalam kamus paradoks di artikan sebagai "pengertian yang bertentangan  dengan pandangan umum". Berhadapan dengan keadaan yang secara objektip hadir di depan kita, dengan sendirinya pilihan yang termudah bagi diri sendiri adalah sikap angkat tangan alias menyerah dan tidak peduli. Dalam bukunya "Anarkhi" Dr.Emanuel Sebangun mengatakan "Semua adalah warga masyarakat, dan sebagai warga tidak ada kemungkinan untuk memberi arah pada geraknya masyarakat. Paling jauh warga yang baik adalah warga yang patuh, dan kepatuhan itu tidak lagi terarah pada pemimpin ini itu, tetapi kepada mekanisme yang semakin berkembang ditengah masyarakat itu sendiri". 

"Harga diri negara adalah harga diri sebuah bangsa, bila negara mengalami kemunduran lantas siapa yang salah". 

-Ibnu Haikal Bachtiar-

Jombang, 23 Agustus 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline