Lihat ke Halaman Asli

Akselerasi

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kurang dari satu jam Ishtar akan meninggalkan tempat ini menuju tanah berdebu di kaki Bromo yang menghindarkannya dari kekacauan di Jakarta. Kereta sudah terparkir rapi di jalur 4, gerbong-gerbongnya seperti memanggil Ishtar untuk segera menaiki kendaraan yang akan melaju pada pukul 15.00 itu. Tapi ada suara lain yang berdengung-dengung di kepala Ishtar. Dia seperti mendengar langkah kaki. Ya, langkah kaki yang semakin kencang seakan pemiliknya diburu kawanan monster dari antah berantah. Suara itu membawa Ishtar melangkah menjauhi peron. Dia tidak akan membatalkan perjalannnya tentu saja. Hanya ingin melihat apa kiranya kejadian yang telah diwanti-wanti oleh suara misterius itu. Semakin dekat Ishtar dengan pintu keluar, semakin kencang suara itu berdengung di kepalanya. Dan ada satu suara lagi, suara decitan ban mobil yang diikuti oleh dentuman cukup keras yang kali ini terdengar begitu nyata. Senyata pemandangan mobil yang terantuk-antuk menabrak pagar stasiun demi menghindari sesosok manusia yang sejak tadi langkahnya berdengung-dengung di kepala Ishtar. Sosok itu kini tergeletak terlindas mobil lain yang melaju kencang di belakang mobil naas tadi.

Ishtar terpaku di tempatnya berdiri, tidak ada daya yang dapat menghantarnya menghampiri sosok yang kini dikerubungi masa. Hanya airmatanya yang meleleh-leleh tak terkendali. Dan dari bulir-bulir itu menyeruak memori-memori yang telah dia tekan ke dalam alam bawah sadarnya. Memori itu menyerbu keluar melewati batas tembok yang dibangun Ishtar dengan sisa-sisa kesadarannya saat semua kejadian menuntunnya pada kegilaan yang paling menyakitkan. Kegilaan yang melemparkannya ke tong sampah setelah sebelumnya menikmati kebahagiaan tak terperi bersama sosok yang kini dibawa ambulans yang meraung-raung menghadirkan udara kesunyian yang langsung menyergap paru-paru Ishtar.Dia ingin mengejar ambulans itu, tapi masih tak ada daya. Sebaliknya, dia malah tejatuh di lantai putih itu. Pelataran stasiun yang tadi ramai oleh penumpang-penumpang dan pedagang berubah menjadi sebuah ruangan kecil yang sunyi. Ishtar berdiri menghadap seorang laki-laki yang terduduk di meja kerjanya. Kertas-kertas berserakan di ruangan itu. Ilustrasi dongeng anak-anak yang terbengkalai di lantai itu seolah menganalogikan perasaan Ishtar yang berputar mengejar dan dikejar memori yang sebenarnya ingin dia buang. Ishtar memungut selembar kertas yang tergeletak di kaki meja. Itu bukan sebuah ilustrasi dongeng. Itu adalah ilustrasi perasaan orang yang menggambarnya. Sebuah sketsa kabur yang membentuk wajah seorang wanita. Rambutnya ikal melambai-lambai dan sorot matanya begitu tajam menghujam ke satu titik. Pedih adalah realita yang mencuat dari gambar itu. Itulah yang dirasakan orang yang menggambarnya setiap kali melihat Ishtar marah. Dewi yang satu ini terlalu pencemburu hingga laki-laki itu merasa tercekik. Dia merasa tergenggam terlalu kuat, hingga akhirnya mencoba berontak. Saat itulah Ishtar melepasnya. Baginya, pemberontakan itu merupakan pengkhianatan terhadap konsistensi dan kerelaan yang mereka ikat dalam pertalian ini. Ishtar memang pemarah, pencemburu, tapi bukan pemaksa. Dia tak akan menahan angin yang sudah memaksa ingin keluar dari paru-parunya. Dia tidak akan menahan airmata yang ingin keluar menangisi kekalahannya.

Sesuatu membangunkannya. Pengeras suara di stasiun itu berdengung-dengung. Selanjutnya terdengar suara seorang operator menginformasikan jadwal keberangkatan kereta. Kereta yang akan membawa Ishtar akan berangkat dalam waktu kurang dari lima menit, penumpang dipersilahkan segera naik atau akan ditinggalkan kendaraan angkuh itu. Ishtar berdiri, mengangkat kopernya namun dijatuhkan lagi. Ia berlari menuju peron diikuti beberapa orang yang ingin naik kereta yang sama. Orang yang tadi berlari di belakangnya kini sudah berada di dalam kereta, tapi Ishtar tidak. Dia tidak menaiki kereta itu. Sebaliknya dia terus berlari sejajar dengan garis lintasan kereta yang akan segera berangkat itu. Dia berlari kesetanan, seperti mengejar sesuatu entah apa. Dia merasa harus berada cukup jauh dari kereta itu sebelum peluit tanda keberangkatan dibunyikan. Orang-orang mengabaikannya, Ishtar terus berlari. Peluit dibunyikan, mesin dari kereta mulai mengeluarkan suara yang mengerikan. Perlahan roda berputar mengarungi rel, terdengar suara berdesing. Kereta mulai mengalami akselerasi seiring semakin cepatnya Ishtar berlari menjauh. Akserelasi penuh, kereta melesat mengejar Ishtar yang masih berlari kencang. Dan pada satu titik, pada satu momentum dimana kereta sudah tak dapat melakukan gerakan mundur. Ishtar melompat. Teriakan histeris mengalahkan desing mesin kereta yang terus melaju kencang meninggalkan tubuh yang terpelanting tigapuluh lima meter dari jalur kematian itu. Tubuh itu, materi yang hancur itu menjadi sketsa nyata perasaan orang yang meninggalkannya. Jiwa yang memaksa mempercepat langkahnya kembali ke dunia idea demi merasakan kembali eksistensi kekasihnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline