Lihat ke Halaman Asli

Menolak Lupa pada Berita

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kuda kayu baru berlari hingga bulan Februari, tetapi layar kaca Indonesa tak pernah sepi oleh berita baru. Sayangnya, berita baru yang silih berganti itu lebih dominan mengabarkan bencana.

Layaknya agenda tahunan, musim hujan di awal tahun ini membawa dampak banjir. Persis seperti tahun lalu. Tak tanggung-tanggung, yang diserang adalah kota paling tersohor di Indonesia. Apalagi kalau bukan Jakarta, si ibukota dengan kehidupan glamour di dalamnya.

Bedanya, kalau setahun lalu pemerintah seakan kaget dengan banjir Jakarta, tetapi untuk tahun ini pemerintah seakan sudah sigap. Seolah telah meramalkan kalau banjir memang akan datang kembali tahun ini.

Tetapi, pemerintah juga tetap manusia. Tidak bisa menduga apalagi meramal apa yang sesungguhnya akan terjadi. Terbukti dengan reaksi kaget atas banjir susulan yang terjadi selepas musim banjir berlangsung. Ya, dalam jeda sekitar seminggu (kalau tidak salah)—waktu yang digunakan pengungsi banjir kembali ke rumah mereka dan berbenah diri—hujan kembali mengguyur dengan intensitas besar. Akibatnya ? Sudah dapat ditebak kalau Jakarta kembali kebanjiran.

Parahnya, salah satu jalan yang terkenal di bilangan Selatan Jakarta mengalami ambles. Bukan itu saja sih, beberapa jalan di ruas tol juga mengalami keretakan. Bahkan setelah diperbaikipun, beberapa waktu kemudian ambles. Miris sekali. Kita jadi bertanya apakah pengerjaannya telah dilakukan dengan benar? Bukankah begitu ?

Masih berkaitan dengan jalan. Sebenarnya bukan hanya ibukota yang bermasalah dengan jalan. Di beberapa daerah juga mengalami pergerakan tanah. Nah ini cukup menyeramkan ya kedengerannya. Mendengar tanah bergerak, maka yang terlintas adalah keretakan tanah perlahan kemudian membelah dan menenggelamkan orang ke dasarnya. Oke, sebenarnya ini hanya bayangan dari Film 2012 yang muncul di kepala saya.

Berselang setelah pemberitaan banjir menyusut, maka berita selanjutnya  adalah longsor di Jawa Tengah. Tidak lama kemudian, gempa di Kebumen dan yang membuat gempar adalah meletusnya Gunung Sinabung.

Gunung Sinabung yang mengalami erupsi memeang telah terjadi sejak 2013, tetapi beritanya hangat kembali karena orang No.1 di Indonesia baru berniat mengunjungi pada awal Februari lalu. Sebenarnya lagi, yang menggemparkan adalah tenda—yang akan digunakan Presiden dan rombongan—dengan harga fantastis.

Saat berita itu mencuat, saya merasa kalau orang yang mengomentari atau memeperdebatkan harga tenda adalah orang yang kurang kerjaan. Iya, soal harga tenda bukan inti dari masalahnya. Yang perlu diberitakan adalah bagaimana keadaan pengungsi yang telah meninggalka rumah mereka selam 6 bulan. Bagaimana kalau ada ibu-ibu hamil di sana? Lalu, bagaimana keadaannya sekarang  Bagaimana dengan anak-anak yang sebentar lagi harus menghadapi ujian kelulusan, baik SD, SMP, maupun SMA.

Menurut saya, hal hal itulah yang seharusnya diekspos lebih jelas dan sering, ketimbang mempersoalkan harga tenda. Bukan saya membela harga tenda yang mahal, tapi kalau memang sudah terlanjur dibeli yasudahlah mau diapakan lagi. Lagipula, setelahnya tenda itukan dapat digunakan oleh para pengungsi. Apa iya tenda itu mau dilipat lagi ? kemudian dibawa pulang ke Jakarta ? Kalau iya, kok terdengar lucu ya.

Setelah Sinabung, perhatian kita ditujukan kepada Gunung Kelud—yang meletus pada 13 Februari lalu. Beramai-ramai muncullah #PrayKelud di twitter dan media sosial lainnya. Penggalangan dana juga mulai dilakukan. 3 hari kemudian, Bapak Presideng melakukan kunjungan pada korban bencana. Timbul sebuah pertanyaan lagi mengapa Pak Presiden begitu cepat bereaksi pada Kelud, sementara sebaliknya pada Sinabung.

Kalau bagi saya, yang terlintas saat Kelud meletus dan semua orang merasa simpati, saya justru merasa khawatir. Khawatir kalau mereka terlalu fokus kepada Kelud, kemudian melupakan Sinabung. Ya, masalah di Sinabung belum selesai, kawan-kawan. Banyak kondisi pengungsi yang memprihatinkan di sana.

Masyarakat Indonesa ini terkenal dengan penyakit lupanya. Kalau ada berita baru yang membuncah, berita itu akan diekspos habis-habisan setiap waktu. Dikuliti sampai bagian yang menciptakan tanda tanya. Tetapi, saat ada berita baru yang muncul maka berita lama itu ditinggalkan tanpa pemberitaan bagaimana kelanjutannya. Miris sekali.

Maka dari itu, mari kita menolak lupa. Untuk terus mengikuti perkembangan berita yang telah lalu atau menuntut kejelasan bagaiman berita yang telah lalu itu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline