Lihat ke Halaman Asli

Bertanya Esensi Pendidikan

Diperbarui: 30 Juli 2021   19:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Sedang menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah pembudayaan buah budi manusia yang beradab dan buah perjuangan manusia terhadap dua kekuatan yang selalu mengelilingi hidup manusia yaitu kodrat alam dan zaman atau masyarakat (Dewantara II , 1994). Lalu, sudahkah pendidikan di Indonesia menjalani pendidikan sesuai dengan definisi tersebut? Bagaimana sikap dan tata laku yang ingin di capai dalam pendidikan di Indonesia? Sudahkah kaum terpelajar di Indonesia memiliki sikap dan tata laku sesuai dengan target dari pendidikan tersebut?  

Sejatinya, pendidikan tak melulu soal tingginya angka yang dapat ditorehkan di atas kertas ujian atau titel yang tersemat pada belakang nama peserta didik. Orientasi pendidikan seharusnya mulia, yakni menciptakan karakter-karakter yang sesuai dengan norma agama maupun norma sosial. Norma-norma tersebut tidaklah berarti bila hanya berupa angka di atas kertas. Kecerdasan akademis tidak seharusnya dijadikan sebagai satu-satunya tolak ukur kecerdasan seseorang. Dari definisi pendidikan oleh KBBI dan Ki Hajar Dewantara, dapat dipahami bahwa esensi pendidikan adalah untuk menciptakan generasi penerus bangsa yang luhur budi pekertinya juga berintegritas tinggi. Namun dewasa ini, pendidikan tak ubahnya hanyalah kompetisi memperoleh angka tertinggi, predikat terbaik, dan atau titel terpanjang. Hal ini mengaburkan esensi pendidikan yang mulia. Sehingga, tak jarang dijumpai peserta didik menggunakan cara-cara yang tidak baik demi angka-angka tersebut. Masyhur dijumpai berbagai cara cerdik mencontek. Lalu adakah ditemukan esensi pendidikan pada hal tersebut?


Manusia bersekolah untuk mendapat pendidikan agar mereka dapat hidup dengan baik di kemudian hari. Dua tambah satu tidak akan dipertanyakan padanya di kehidupannya yang sebenarnya. Namun, mereka akan ditanya berapa harga sebuah pensil dan sebuah buku. Strategi perang gerilya tidak akan dipertanyakan padanya, tetapi strategi bertahan dari arus globalisasi harus mereka kuasai. Mengapa apel terjatuh tidak akan ditanyakan pada mereka, tetapi bisakah mereka menemukan jawaban dari setiap pertanyaan kehidupan yang mereka temui. Manusia hidup adalah untuk memecahkan masalah yang mereka jumpai semasa hidupnya. Untuk itulah mereka harus terdidik, agar  dapat selalu menemukan jalan keluar terbaik dari masalah yang dijumpanya. Angka tinggi dalam ijazah mereka tentu tidak dapat menjamin banyak. Pada akhirnya bagaimana proses belajar dan pemaknaan pembelajaran semasa sekolah lah yang akan banyak membantu mereka.

Seringkali luput dari perhatian bahwa di atas kepentingan kecerdasan intelekual ada kecerdasan lain yang seharusnya dimiliki oleh generasi emas Indonesia, yakni kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional. Padahal, di situlah esensi pendidikan dapat ditemukan. Kecerdasan spiritual tentu akan berdampak pada kecerdasan emosional seseorang. Dua kecerdasan ini memiliki timbal balik yang baik terhadap kecerdasan intelektual seseorang. Jika peserta didik memiliki spiritualitas yang baik, maka tidak mungkin mereka mengambil jalan yang buruk untuk mendapat nilai atau predikat yang baik karena terpautnya hati mereka dengan ajaran tuhan yang baik. Dengan begitu dapatlah dicapai generasi penerus bangsa yang berintegritas tinggi. Begitu pula bila peserta didik memiliki penguasaan emosi yang baik, maka mereka tidak akan jadi cepat menyerah dalam belajar karena mereka akan menghargai setiap kegagalan mereka sebagai proses untuk menjadi lebih baik. Pada akhirnya inilah yang akan membantu manusia untuk hidup di dunia yang fana ini.  

Namun, hal-hal esensial ini justru tidak diajarkan di sekolah. Sehingga, didikan orang tua di rumah menjadi hal yang tak kalah pentingnya. Bagaimana orang tua memberi teladan kepada anaknya, seperti itulah anaknya akan menjadi. Sayang sekali, para orang tua melupakan hal ini dan menjadikan sekolah anaknya sebagai kambing hitam atas perilaku anaknya. Sikap orang tua seperti ini jelas bukan sikap yang bijak dan seharusnya para orang tua mengetahui bahwa sikapnya itulah yang akan dicontoh anak mereka sendiri. Hendaknya sekolah dan orang tua saling bersinergi bahu membahu melengkapi kekurangan pendidikan yang dibutuhkan oleh peserta didik. Karena sejatinya tidak ada kesalahan mutlak, sedang kebenaran mutlak hanya milik Tuhan. Wallahu a'lam bisshawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline