Di sebuah pesantren kecil di pelosok desa, hiduplah seorang santri bernama Ahsan. Ia dikenal sebagai anak yang cerdas, namun ada satu kekurangan dalam dirinya---Ahsan seringkali kehilangan istiqamah dalam menjalankan amalan-amalannya. Kadang ia rajin bangun tahajud, namun seminggu kemudian ia terlelap hingga subuh. Kadang ia hafal Al-Qur'an dengan cepat, namun sering lupa murajaah.
Suatu hari, Kyai Idris, pimpinan pesantren, memanggil Ahsan ke ruangannya. Kyai Idris adalah sosok yang bijaksana, wajahnya selalu meneduhkan siapa saja yang memandangnya.
"Ahsan, bagaimana hafalanmu minggu ini?" tanya Kyai Idris lembut.
Ahsan menunduk. "Maaf, Kyai. Saya kurang maksimal mengulang hafalan. Saya terlalu sibuk dengan hal lain."
Kyai Idris tersenyum. "Ahsan, kau tahu apa makna istiqamah?"
Ahsan mengangguk kecil. "Tetap teguh di jalan kebaikan, Kyai."
"Betul. Namun istiqamah bukan sekadar teguh, Ahsan. Ia adalah kesabaran untuk tetap berjuang meski godaan datang bertubi-tubi. Ketahuilah, istiqamah itu ibarat menanam pohon. Kau harus menyiraminya setiap hari, meski hanya setetes air. Jika kau biarkan sehari saja tanpa siraman, pohon itu bisa layu."
Kata-kata Kyai Idris terus terngiang di benak Ahsan. Sepulang dari ruang Kyai, ia duduk di bawah pohon mangga di halaman pesantren. Pohon itu terlihat kokoh dengan dedaunan hijau rimbun. Ia teringat cerita para santri senior bahwa pohon mangga itu ditanam oleh Kyai Idris sendiri puluhan tahun lalu.
Ahsan termenung. Ia menyadari bahwa istiqamah adalah perjalanan panjang, bukan sekadar semangat sesaat. Ia pun bertekad untuk memperbaiki dirinya.
Hari demi hari, Ahsan mulai memperbaiki rutinitasnya. Ia membuat jadwal untuk hafalan, memperbanyak dzikir, dan tidak lagi lalai dalam shalat malam. Ada kalanya ia merasa lelah, ada pula godaan untuk menyerah, tetapi ia terus mengingat pesan Kyai Idris tentang pohon yang harus disirami setiap hari.
Enam bulan berlalu. Suatu pagi, Kyai Idris kembali memanggil Ahsan. "Bagaimana hafalanmu sekarang, Ahsan?"