Pada awalnya, instrumen derivatif diperkenalkan pada tahun 1949 di Chicago, Amerika Serikat. Salah satu tujuan penggunaan instrumen derivatif adalah untuk mengurangi risiko yang dapat timbul saat melakukan transaksi. Transaksi derivatif melibatkan berbagai acuan pokok, seperti tingkat suku bunga, nilai tukar mata uang, komoditas, saham, dan indeks (Sunaryo, 2021)
Derivatif adalah bentuk perjanjian finansial oleh dua belah pihak yang melakukan kontrak yang berguna sebagai salah satu syarat untuk memenuhi kewajiban atas transaksi jual beli aset atau sebuah komoditas yang menjadi objek perdagangan dengan harga dan waktu yang telah disepakati kedua belah pihak.
Instrumen derivatif, seperti opsi, futures, swap,dan lainnya, memungkinkan para pelaku pasar untuk mengelola risiko. Namun, di lain sisi, instrumen keuangan derivatif juga memiliki risiko yang signifikan. Beberapa analisis resiko terhadap instrumen keuangan derivatif yaitu volatilitas pasar, risiko kredit, risiko likuiditas, risiko operasional, resiko model (Aisha et al., 2023)
Penetapan harga pada saat perjanjian kontrak forward dan bukan pada saat penyerahan valas adalah sebuah praktik spekulasi yang mengandung unsur ketidakpastian antara untung dan rugi. Adanya ketidakpastian dalam kontrak forward akan mengarah pada spekulasi yang dilarang dalam ekonomi Islam. Kontrak berjangka dalam transaksi forward harus diatur dan dikendalikan dengan ketat untuk mencegah perjudian, spekulasi dan manipulasi (Injadat, 2014 dalam Umam, 2020).
Adapun penggunaan instrumen derivatif untuk hedging sangat mirip dengan pembelian asuransi. Instrumen derivatif umum yang digunakan untuk hedging nilai tukar mata uang asing ialah Hedging dengan kontrak Opsi dan kontrak Futures. Hedging juga memiliki sejumlah konotasi negatif, antara lain; perusahaan harus mengeluarkan lebih banyak uang (biaya hedging) untuk menghasilkan lebih sedikit uang dan menciptakan lebih sedikit nilai bagi pemegang saham; dan hedging sangat mirip dengan perjudian, yang membawa sejumlah risiko dan biaya.
Maka dari itu, hedging menghabiskan sebagian dari kredit yang tersedia, membuatnya lebih sulit untuk tetap bertahan. Bank menggunakan berbagai instrumen hedging, banyak di antaranya juga digunakan dalam instrumen transaksi derivatif, untuk melindungi diri dari volatilitas perdagangan internasional (Indrajaya, Herlina, dan Setiadi 2012 dalam Muftiasa et al., 2023).
Kontrak berjangka resiko tidak terjadi pembayaran sangat mungkin karena limit margin pihak pembeli yang bisa saja di bawah atau bahkan habis pada waktu jatuh tempo dan pihak penjual juga mempunyai risiko tidak dapat menyerahkan barangnya dikarenakan bukan dia yang mengelola barang tersebut secara langsung namun pihak pengelola dalam bursa berjangka.
Selain itu, komoditi kontrak berjangka menghadirkan risiko tidak jelasnya perlindungan yang diberikan kepada nasabah. Dalam hal ini, investor pada bursa berjangka yang membuat nasabah yang tidak menjadi anggota bursa kesulitan untuk membuktikan atau menuntut kepada bursa .
Sebagian besar ulama berpendapat memiliki atau cenderung mengarah ke transaksi yang dilarang seperti gharar dan maysir ataupun akad yang dilaksanakan pada saat transaksi tidak memenuhi rukun dan syarat akad seperti tidak adanya harga dan barang pada saat terjadi transaksi (Saputra & Amir, 2022).
Secara keseluruhan, kontrak derivatif menyediakan alat yang kuat untuk mengelola risiko keuangan, namun juga menimbulkan sejumlah permasalahan yang perlu diatasi. Dengan memahami dan mengatasi potensi permasalahan ini, pasar derivatif dapat berfungsi secara lebih efisien dan efektif untuk mendukung kestabilan sistem keuangan global.