Lihat ke Halaman Asli

Kritis yang Intelek

Diperbarui: 18 Desember 2016   19:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Turun ke jalan. Salah satu hal yang seakan-akan dijadikan taring dan tanduk oleh banyak kalangan mahasiswa yang terlingkup bahkan di seluruh belahan dunia. Demonstrasi mahasiswa ternyata menjadi bagian penting dari banyak catatan sejarah yang rata - rata berkaitan dengan "guncangan" yang melanda sebuah wilayah, negara, dan dunia. Hal - hal tersebut selalu digandrungi sebagai "Jalan Perubahan" oleh kalangan yang katanya "intelektual muda". Dari sudut pandang legalitas, mengemukakan pendapat sebenarnya merupakan hal luhur yang secara implisit menjadi cerminan dari penghargaan terhadap salah satu aspek dalam Hak Asasi Manusia (Hak Asasi Pribadi). 

Indonesia sendiri secara tegas menghormati dan mengakui kemerdekaan berpendapat, berkumpul, dan berserikat dalam UUD NRI 1945 Pasal 28E. Dan tidak hanya itu, beberapa dasar lain seperti; UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dan yang terbaru mungkin Peraturan Kepala Kepolisian (Perkap) No. 9 Tahun 2008, memberikan alasan yang cukup indikatorik bahwa Indonesia adalah Negara "Demo", negara yang -dengan pengertian dari "demo" (demos)/(demokrasi) itu sendiri ialah rakyat/masyarakat- kekuasaannya merupakan mandataris rakyat.

Terlepas dari tumpang tindih UU No. 9 Tahun 1998 dan Perkap No. 9 Tahun 2008 yang oleh kalangan hukum sering diperdebatkan jika berkenaan dengan Asas lex superior derogat legi inferior yang artinya peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang rendah (asas hierarki) dan Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori (yaitu pada peraturan yang sederajat, peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama. Jadi peraturan yang telah diganti dengan peraturan yang baru, secara otomatis dengan asas ini peraturan yang lama tidak berlaku lagi), ternyata kita tidak boleh menutup mata bahwa akses dari sebuah demonstrasi sungguh dilindungi oleh Hukum Positif di Indonesia.

Sungguhpun sebenarnya "Demonstrasi" memiliki pengertian umum mengemukakan pendapat, namun secara khusus kemudian dalam motif praktis terdapat beberapa modus dalam upaya pengemukaan pendapat tersebut. Mereka diantaralain ialah:
1. Lisan, contohnya pidato, ceramah, berdialog, berdiskusi, rapat umum.
2. Tulisan, contohnya poster, spanduk, artikel, surat.
3. Cara lain, contohnya foto, film, demonstrasi (unjuk rasa), mogok makan.

Kasubdit Ormas Dirjen Kesbangpol Kemendagri Dr. Bachtiar mengatakan, mahasiswa dan aktivis merupakan elemen kebangsaan. Artinya dalam setiap aksi yang dilakukan mahasiswa dan aktivis tidak harus turun ke jalan yang bisa menganggu masyarakat lainnya tapi bergerak secara profesional.‎ “Gerakan masyarakat Indonesia saat ini baru sampai pada tahap kesadaran, namun masih belum sadar apa yang mau dilakukan setelah sadar,” ujar Bachtiar saat Diskusi Publik sekaligus memperingati Kebangkitan Nasional yang bertajuk “Reaktualisasi dan revitalisasi nilai-nilai kebangkitan nasional bagi generasi muda di era globalisasi” di Gedung Joeang 45, Jakarta, Selasa (19/05/015). (Sumber: Harian Terbit, Berita yang dipublikasi pada Selasa, 19 Mei 2015 14:46 WIB).

Mungkin bagi sebagian kalangan ada yang menetujui atau hanya sekedar terusik dengan pernyataan beliau. Tetapi tidak jarang di kalangan lain, khususnya mereka yang melatarbelakangi diri mereka sebagai aktivis pergerakan apa pun itu, merasa tidak sependapat dan justru menolak keras. Dan menjadi etika seorang yang akademis, pendapat selalu diikuti dengan alasan - alasan pendukung yang dianggap kuat. Klaim dari golongan aktivis tentu berdasar jelas dan akan banyak mengarah pada aspek historis. 

Aspek yang tentunya juga diakui dan berdasar ilmiah yakni sejarah besar sebuah bangsa bahkan dunia banyak lahir dari demonstrasi yang kemudian reformis dan revolusioner. Ini selayaknya menjadi pertanda bahwa di dalam sebuah negara, ada setidaknya 3 kekuatan besar yang diakui; Kekuatan Pemerintah, Kekuatan Industri (Sektor Usaha), dan Kekuatan Rakyat. Sehingga kemudian kekuatan rakyat merupakan kekuatan yang amat vital dalam sebuah negara. Argumen lain yang memberi kekuatan lebih ialah ungkapan dalam bahasa Latin, "Vox Populi Vox Dei", Suara rakyat adalah suara Tuhan.

Akan tetapi di satu sisi yang lain, demonstrasi seringkali dijadikan legitimasi kepentingan jahat yang terselubung, demonstrasi dinilai terlalu banyak membuang tenaga dan biaya sehingga kurang efisien, mengganggu ketertiban umum, dan anarkitis. Sehingga kemudian banyak negara yang mengatur spesifik teknis dalam pelaksanaan demonstrasi itu (misalnya dalam Pasal 6, 7, 10, dan 12 Perkap No. 9 Tahun 2008) mulai dari tata cara, jenis - jenis, waktu, dan beberapa batasan - batasan lain.

Dalam sebuah komparasi sederhana, memilih diam dan apatis adalah hal yang kurang tepat, namun demonstrasi yang tidak bertanggungjawab juga tidaklah dapat dikatakan benar. Menjadi sebuah problematika serius di Indonesia secara khusus, demonstrasi yang telah diatur itu pun sering dilanggar, ada yang pula dengan dalih pencederaan Hak Asasi. Padahal dari segi moralitas umum, "pengaturan" yang maknanya berbeda tipis dengan "pembatasan" memiliki tujuan jelas untuk mewujudkan demonstrasi yang bertanggungjawab tadi.

Kembali pada konteks "Turun ke Jalan" bagi para mahasiswa, kita tentu perlu merefleksikan secara lebih bahwa cukup intelek- kah langkah mahasiswa untuk berdemonstrasi di jalanan yang tidak lain adalah fasilitas umum. Jangan sampai mahasiswa yang selalu dijuluki "perpanjangan tangan dan lidah" masyarakat justru menjadikan demonstrasi sebagai sebagai Senjata Makan Tuan yang kemudian melahirkan kesan mahasiswa hanya sebagai pengganggu ketertiban umum.

Pada akhirnya, mahasiswa selayaknya menelaah dan mengerti secara mendalam arti dari Demonstrasi sebagai jalan mengemukakan pendapat yang caranya tidak hanya turun ke jalan saja. Mahasiswa seharusnya secara intelektual tidak mudah terpancing dengan provokasi, membuat upaya argumentasi ilmiah, lalu kemudian menyatakan sikap yang selanjutnya tentu juga harus secara intelek, tidak ujuk - ujuk, dan menghormati kepentingan umum. Turun ke jalan juga tidak dilarang bahkan di atur. Akan tetapi alangkah lebih baiknya rona - rona pergerakan itu terlebih dahulu dijalankan dengan banyak modulasi yang tidak mengganggu ketertiban umum, menghina dan ujaran kebencian (hate speech).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline