BELIS SEBAGAI HARGA DIRI, STATUS GIZI ANAK TERABAIKAN
Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia dengan penduduk berjumlah sekitar 5.325.566 jiwa, dengan kepadatan 111 jiwa/km2. Provinsi ini berdiri sejak tahun 1958. Seperti provinsi -- provinsi pada umumnya di Indonesia, provinsi Nusa Tenggara Timur juga memiliki masalah dari berbagai sektor. Masalah yang menjadi sorotan terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah sektor ekonomi dan kesehatan.
Dari data penduduk miskin yang dirilis BPS (Badan Pusat Statistik) per Maret -- September 2021 Nusa Tenggara Timur menduduki provinsi ke 3 termiskin dengan persentase 20.4%. Selain masalah ekonomi, Nusa Tenggara Timur juga menjadi salah satu provinsi dengan penyumbang angka stunting dan gizi buruk di Indonesia.
Masyarakat Nusa Tenggara Timur merupakan tipe masyarakat yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat dan budaya. Salah satu adat istiadat di Nusa Tenggara Timur adalah Belis. Belis merupakan salah satu budaya pemberian mahar kawin dari pengantin Pria kepada pengantin Wanita. Belis yang di berikan bisa berupa uang, hewan, kain adat, barang-barang emas, barang-barang langka dan barang berharga lainnya.
Belis merupakan lambang harga diri seorang lelaki dewasa di Nusa Tenggara Timur. Jika seorang lelaki nusa tenggara timur mampu melunasi belis dan pengeluaran acara pernikaham, maka lelaki tersebut dapat di terima dan di hargai dalam rumpun keluarga perempuan (calon istri).
Pengeluaran untuk belis dan pengeluaran acara pernikahan di Nusa Tenggara Timur juga bervariasi sesuai dengan suku dan strata sosial masing -- masing calon pengantin. Kisaran belis dan acara pernikahan di di Nusa Tenggara Timur memakan biaya mulai dari 30 juta sampai dengan 500 juta.
Tidak bisa di pungkiri hal ini membuat beberapa pasangan muda yang baru menikah harus memulai rumah tangga dengan kondisi keuangan yang minus. Kondisi keuangan yang minus ini terjadi karena proses hutang piutang untuk acara adat belis dan juga acara pernikahan. Hal ini memiliki dampak secara langsung terhadap tingkat kesehatan keluarga dengan status keluarga baru menikah ini.
Menurut Miler dan Meineres (1997), Engel sebagai pelopor dalam penelitian tentang pengeluaran rumah tangga. Penelitian Engel melahirkan 4 kesimpulan, yang kemudian dikenal dengan Hukum Engel.
4 butir kesimpulannya yang dirumuskan tersebut adalah jika pendapatan meningkat, maka persentase pengeluaran untuk konsumsi pangan semakin kecil, persentase pengeluaran untuk konsumsi pakaian relatif tetap dan tidak tergantung pada tingkat pendapatan, persentase pengeluaran untuk konsumsi keperluan rumah relatif tetap dan tidak tergantung pada tingkat pendapatan dan jika pendapatan meningkat, maka persentase pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, rekreasi, barang mewah dan tabungan semakin meningkat. Berdasarkan 4 teori engel ini, pada teori butir ke 4 jelas ada hubungan antara tingkat pendapatan dan status kesehatan keluarga. Keadaan seperti inilah yang terkadang menjadi salah satu faktor penyebab keluarga mengabaikan tumbuh kembang dan kesehatan anak sehingga anak bisa tumbuh menjadi stunting bahkan mengidap gizi buruk.
Selain peran pemerintah dan tenaga kesehatan, untuk menangani angka kejadian gizi buruk dan stunting ini, seharusnya keluarga sendiri juga berperan aktif serta memprioritaskan kesehatan ketimbang budaya dan adat istiadat yang mungkin bisa merugikan diri sendiri. Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyrakat harus lebih bijak dalam mengambil keputusan. Tidak bisa di pungkiri bahwa nilai nilai budaya dan adat istiadat harus selalu di junjung tinggi. Namun jika nilai budaya dan adat istiadat itu memberikan dampak buruk terhadap kesehatan dan kehidupan keluarga ke depannya, hal itu harus bisa di pertimbangkan dan di pikirkan lagi. Sekian
Penulis : Hagai Binnoni Sanam/Mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga.