Peran media sosial semakin menjadi kebutuhan pokok yang penting bagi manusia, di setiap smartphone dipastikan terinstal beberapa aplikasi media sosial, bahkan bisa jadi dalam satu platform media sosial satu orang memiliki beberapa akun yang digunakan untuk berbagai kepentingan berbeda. Media sosial memang dirancang untuk mengumpulkan dan menjangkau banyak orang secara virtual dari berbagai kalangan usia dan latar belakang sosial. Selain digunakan sebagai sarana komunikasi bisnis seperti facebook ads, media sosial belakangan ini semakin kentara juga digunakan untuk media komunikasi politik untuk memengaruhi dan membentuk opini publik.
Membanjirnya informasi di segala sisi kehidupan manusia sebagai imbas dari percepatan teknologi membuat internet menjadi kanal informasi yang hampir tidak dapat dikontrol. Namun dibalik semua kemudahan akses informasi tersebut, pada saat yang sama, manusia justru kesulitan untuk mendapatkan makna dari tumpukan informasi yang didapatkannya karena kecenderungan saat ini adalah mencari pembenaran dari pada kebenaran itu sendiri.
Penggunaan media digital, khususnya yang berbasis media sosial seringkali tidak disertai tanggung jawab sehingga tidak jarang menjadi sarana untuk penyebaran informasi yang tidak benar, hoax, fitnah, gibah, namimah, gosip, pemutarbalikan fakta, ujaran kebencian, permusuhan, kesimpangsiuran, informasi palsu yang menyebabkan disharmoni sosial yang menimbulkan mafsadat di tengah masyarakat.
Menurut Fahruddin Faiz, ada tujuh akar kelahiran post-truth (Suatu era Dimana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran yaitu :
Pertama, Manusia suka pandangan baru, kebutuhan akan dukungan eksistensi pribadi seringkali membuat manusia mencari dukungan penguat bagi identitasnya meski bersifat basa-basi dengan cara palsu dan bohong.
Kedua, Media kebutuhan meningkatkan rating, klik like, penambahan follower dan profit membuat media cenderung kapitalis. Memblow up berita sensasional untuk menarik pembaca demi meraup laba.
Ketiga, Komodifikasi, yaitu membisniskan segala sesuatu atau menjadikannya komoditas. Apapun latar belakang yang dimiliki digunakan untuk meningkatkan sisi finansial, status, posisi atau lainnya meskipun hal tersebut ditempuh dengan menebar kebohongan.
Keempat, Kemajuan teknologi tidak diiringi adaptasi dari masyarakat maupun pemerintah, pesatnya laju teknologi tidak diimbangi peningkatan kecerdasan sosial. Komentar-komentar negatif yang dilontarkan secara iseng justru ditanggapi dengan serius sehingga memicu gejolak.
Kelima, Pragmatisme yang berorientasi hasil jangka pendek, caracara instan untuk segera mencapai apa yang diinginkan menyebabkan pembenaran melakukan tindakan-tindakan curang, menyikut kanan kiri seakan menjadi hal yang lumrah supaya melejit di tingkatan teratas.
Keenam, Karakter masyarakat yang gampang kaget, Fahrudin Faiz mengistilahkan dengan masyarakat "epilepsi", suka dengan hal-hal sensasional bombastis dan berebut menjadi penyebar informasi tercepat dalam komunitasnya. Seringkali tanpa dikaji, apapun berita sensasional langsung di-share padahal berita tersebut adalah kebohongan.