Lihat ke Halaman Asli

Hafsah Anas

Undergraduate Student

Bahas Sinema "Cingcuwong: From Sacred To Profane"

Diperbarui: 12 Oktober 2022   13:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kelompok 2 Foto Bersama Dengan Kru Film Dokumenter Cingcuwong (Dokpri)

Sabtu, 8 Oktober 2022 Kelompok 2 Modul Nusantara Pertukaran Mahasiswa Merdeka 2 Inbound UPI menghadiri Bahas Sinema "Cingcowong : From Sacred to Profane" di Fakultas Pendidikan Seni dan Desain, Universitas Pendidikan Indonesia ". Sinema ini menceritakan bagaimana rangakaian ritual pemanggil hujan yang dilakukan di Kuningan, Jawa Barat. Di film dokumenter ini juga dijelaskan bahwa ritual tersebut dihentikan namun tetap dilestarikan dalam bentuk pertunjukan seni seperti teater dan tari.

Mengenai ritual pemanggil hujan sendiri awalnya terjadi karena musim kemarau yang berkepanjangan hingga 3 tahun, yakni di tahun 1924 tepatnya di daerah Luragung. Melihat kondisi tersebut, Wira Dirana selaku kepala desa waktu itu bertanya kepada Mbok Uku, ahli kebatinan atau dukun. Maka Mbok Uku melakukan puasa selama 3 hari 3 malam. Kemudian beliau mendengar ada yang berbunyi-bunyi juga terdengar seperti menyuruh beliau untuk memberhentikan puasanya. Setelah melihat-lihat dan mencari sumber suara, ternyata suara tersebut berasal dari Burung cingcuing yang ditangkap orang sebagai cingcuwong.

Ritual pemanggil hujan ini menggunakan boneka Cingcuwong. Boneka ini mirip dengan jailangkung tetapi memiliki perbedaan. Cingcuwong adalah boneka yang kepalanya terbuat dari gayung (batok kelapa) kemudian dihiasi dengan kebaya, bunga Kamboja, dirias seperti pengantin wanita, dan lainnya. Boneka ini juga disimpan di selokan selama 3 hari 3 malam, sama seperti durasi puasa wanita yang akan memanggil hujan. Sekadar informasi, ritual ini hanya bisa dilakukan oleh wanita dan tidak berasal dari sembarangan keturunan. 

Di hari ritual, boneka Cingcuwong ini akan dibawa oleh wanita yang dapat melakukan ritual ini melangkahkan tangga satu persatu, lalu dibawa ke area terbuka seperti lapangan dengan arak-arakan. Sesampainya di lapangan atau tempat ritual, boneka ini akan dipegang kemudian dibacai mantra-mantra serta diiringi dengan musik yang konsisten. Musik ini berasal dari tepukan gentong air yang dipukul secara konstan. Boneka ini akan berjalan kesana kemari sehingga para penonton ritual ini harus berusaha menghindar agar tidak "digetok" oleh boneka ini agar terhindar dari penyakit atau luka.

Ritual berakhir ketika boneka Cingcuwong ini berhenti bergerak kesana-kemari. Sekitar 15-20 menit ritual berakhir, maka hujan akan turun. Begitulah ritual pemanggil hujan di Kuningan Jawa Barat. Ritual ini tidak lagi dilakukan karena adanya pro dan kontra di masyarakat. Masyarakat mengetahui bahwa hal tersebut bertentangan dengan agama yang meminta kepada Tuhan. Oleh pemerintah setempat, ritual ini dilestarikan dalam bentuk lain yakni pertunjukan kesenian seperti teater dan tari. Sehingga cerita mengenai ritual ini diharapkan tidak punah dengan ritualnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline