Lihat ke Halaman Asli

Bahasa Modifikasi Bangsa

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekilas terlintas diingatan tentang catatan atau note saya yang terdapat diaccount facebook saya. Entah perasaan apa yang membawa saya untuk membaca ulang kata demi kata yang saya sendiri sulit menggambarkan betapa terbawanya saya dalam arus zaman ‘kealayan’ atau mungkin identik dengan situasi penulisan kata yang terlampau berlebihan tetapi sering digunakan oleh kaula-kaula muda pada saat itu. Itu sekitar antara tahun 2008-2009. Saat itu saya masih menjadi seorang siswi SMP. Entah darimana kata-kata yang tak terdapat dikamus bahasa Indonesia itu. Tapi yang jelas , saat itu saya menyukai bahasa-bahasa ‘kealayan’ saya dan lingkungan sekitar saya.

Bahkan saya juga mengaplikasikannya dalam berkirim pesan elektronik melalui telepon selular pribadi saya. Saya masih ingat , 3 tahun yang lalu itu “Selamat Pagi” berubah menjadi “Met Page”. Kalau dicerna sih, sebenarnya kata “Met Page” mempunyai arti “Lembaran Pertemuan” dalam Bahasa Inggris. Bukan sebatas itu saja, kata “Iya” pun berganti menjadi “Ea”. Selain itu, angka-angka mendapatkan perubahan fungsi yang sangat berbeda dari yang semestinya. Misalnya saja, angka “4” berubah fungsi menjadi huruf “A” , angka “6” berubah fungsi menjadi huruf “G” atau mungkin hal lebih sederhana, angka “1” dan “0” berubah fungsi menjadi huruf “I” dan huruf “O”.

Mungkin memang benar, ada sebuah teori yang bilang kalau “semua itu terus berulang-ulang sampai akhirnya berhenti bertemu ke arah awal perjalanan”. Jadi apa hubungannya dengan “bahasa kealayan” yang selama ini berjalan?. Biar saya jawab. Dulu, pada masa pra-proklamasi penggunaan kalimat EYD belum sesempurna masa sekarang ini. Saya mengambil sampel kata “yang”, yang mana dulu masih mempunyai kerangka huruf yang berantakan , yaitu “tjang”. Lalu setelah mengalami perubahan dan disempurnakan menjadi “yang” , kata “yang” juga mengalami perubahan pada masa “kealayan” anak muda menjadi “iank”. Setelah mengalami pasang surut, “bahasa kealayan” hampir-hampir sudah hilang dan kembali kemasa bahasa baku yang sebenarnya. Sudah jarang saya lihat anak muda yang masih menggunakan “bahasa kealayan” mereka. Yah, meskipun saya masih tetap menjumpai hal-hal yang menuju kearah sana. Penyingkatan kata dan mengubah arti suatu huruf juga merupakan jalan menuju arah “bahasa kealayan” jadi apakah mereka kaum muda tidak merindukan bahasa Indonesia mereka? Meskipun banyak segelintir orang yang tidak menyukai “bahasa kelayan” tapi saya tahu, mereka dulunya pernah menggunakan “bahasa kealayan” itu sendiri. Karena, cinta dan benci itu tidak ada pembatas. Dulu, mereka sangat mencintai “bahasa kealayan” mereka, termasuk saya sendiri, dan sekarang, mereka seakan-akan membenci “bahasa kealayan” itu sendiri. Saya juga membencinya, tapi kemudian saya sadar, suatu bahasa, kalimat, huruf, bahkan angka sekalipun akan mengalami yang namanya modifikasi fisik, kerangka dan tujuan pembuatan angka tersebut dimodifikasi.

Bahkan, acara televise sekalipun juga menggunakan “bahasa kealayan” agar membuat penonton terpengaruh dan mudah untuk mengingat kata yang mereka sebutkan. Contoh nyatanya adalah penggunakan kata “kamseupay” yang sekarang menggema dikalangan kaummuda, tua ataupun anak-anak. Awalnya, saya juga tidak mengetahui apa itu “kamseupay”. Setelah menanyakan kebeberapa teman akhirnya saya mengetahui arti sebenarnya dari kata tersebut. “Kampungan sekali uh payah” ternyata panjang sekali arti dari satu kata itu. Tapi inilah dia, penggunaan “bahasa kealayan” ternyata mempunyai manfaat tersendiri bagi suatu perusahaan televise ternama di Indonesia.

Tak bisa menyalahkan, meskipun kata-kata itu melenceng jauh dari kamus besar bahasa Indonesia, tapi tetap saja setengah dari 236 juta penduduk Indonesia mengetahui arti sebenarnya tidak terdapat disana. Ya memang, kadang saya tertawa sendiri membayangkan begitu banyak kata-kata yang tidak pantas tetapi terkenal dihampir seluruh Indonesia. Tapi , toh tetap saja itu merupakan segelintir bagian dari bahasa Indonesia yang mengalami modifikasi yang sangat besar. Dan sekali lagi, memang tidak bisa disalahkan , perubahan zamanlah yang membawa kata-kata modifikasi menjadi lebih terkenal dibandingkan kata baku yang terdapat di kamus besar bahasa Indonesia. Tinggal memilih, menjadi penganut bahasa Indonesia yang mengalami modifikasi atau menganut bahasa Indonesia yang sudah disempurnakan oleh kamus besar bahasa Indonesia.

Menganut bahasa baku? Atau menganut bahasa modifikasi?
keduanya mempunyai konsekuensi yang sama rata. Loh? Kenapa? Kok bisa? Ya tentu saja bisa, karena dilingkungan saya saja kalau saya menggunakan bahasa yang baku saya ditertawakan. Hal itu terjadi disaat saya menyebutkan “aku mau membaca dulu ya” . trus teman saya langsung bilang “kamu hidup dizaman apa? Bahasanya baku banget”. Tuhkan, bahkan saat saya menggunaan bahasa baku saja, saya mengalami sudut pandang yang tak menyenangkan. Pernah juga saya mencoba menggunakan bahasa modifikasi, waktu itu saya ingat saya berkata seperti ini “cius? Cumpah? miapah?”. Bukannya mendapatkan respon yang baik, malahan saya mendapatkan teriakan “woi alay woi”. Memangnya harus bahasa yang bagaimana yang semestinya saya gunakan? Bahasa lingkungan dan masyarakat mengetahui itu? Bukannya bahasa lingkungan juga mengalami modifikasi kata?

Iya, bahasa lingkungan juga mengalami modifikasi kata yang mengandung arti yang sama tetapi mempunyai dua arti dialamnya. Contoh nyatanya, dilingkungan sekitar saya, kalau listrik padam mereka menyebutnya dengan “mati lampu”. Apa? Mati lampu? Bukannya kalau mati lampu peralatan yang elektronik lainnya bisa dipakai?. Nah itu dia, bahkan bukan hanya itu saja. Penggunaan kata “obat nyamuk” menggantikan kata “anti nyamuk”. Kalau saya kewarung yang berada didekat kosan saya, tidak ada yang mengerti arti anti nyamuk sendiri, mereka pasti bilang “anti nyamuk gak ada dek, yang ada obat nyamuk”. Aneh memang, tapi itulah yang terdapat dilingkungan sekitar saya.

Jadi, masih adakah bahasa yang tak mengalami modifikasi? Bahkan kini, masih banyak pengadopsian kata dari bahasa asing menjadi bahasa Indonesia. Contohnya saja disekolah saya, “class meeting” sudah menjadi bagian yang sering kami ucapkan. Kami mengetahu pasti artinya, tetapi kami tetap menggunakan kata “class meeting” dalam bahasa kami sehari-hari disekolah.

Indonesia memang kaya akan bahasa, bahkan ada beberapa bahasa yang menggunakan kata yang sama tetapi mengandung arti yang berbeda. Kalau didaerah saya, saya tinggal didaerah pesisir. Temanp-teman saya sering menggunakan bahasa daerah masing-masing. Saya juga bingung menanggapi apa yang mereka katakana. Terkadang saya mengira penggunaan kata “awak” itu adalah untuk menyatakan diri sendiri, ternyata disini berbeda. Penggunaan kata awak mengandung arti dia ataupun kamu.

Jadi, banyak sekali keterikatan bahasa dan lingkungan. Bukan hanya lingkungan, factor perubahan zaman, dari masa kemasa, tahun ketahun juga mengalami keterikatan bahasa. Bangsa Indonesia dituntut mengetahui segelintir bahasa dari sekian banyak bahasa dibumi pertiwi. Bahasa satu , berbangsa satu, tanah air satu, Indonesia Raya. Tidak harus menggunakan bahasa baku, bahasa modifikasi ataupun bahasa lingkungan, yang penting bagaimana kita bisa mengkondisikan penggunaan bahasa dimana kita berada dan bagaimana kita mengkondisikan seseorang mengetahui apa yang akan kita katakana kepadanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline