Polemik persoalan politik dalam tubuh Nahdlatul Ulama atau NU yang terjadi akhir-akhir ini kembali menguat, terlebih setelah Prof Mahfud MD bicara soal bagaimana proses pemilihan calon wakil presiden yang mendampingi Joko Widodo dalam kontestasi Pilpres pada 27 April 2019 nanti. Bahasa-bahasa intervensi, tekanan, dan intimidasi seolah menjadi kata kunci dalam keterpilihan Prof KH Ma'ruf Amin sebagai pendamping Presiden Jokowi.
Perbincangan mengenai berpolitiknya PBNU dalam kontestasi Pilpres 2019 menjalar kemana-mana, terutama di internal kader NU sendiri. Tudingan para pendukung Mahfud MD yang seolah menggulingkan wacana tentang bagaimana seorang Kiyai melakukan praktik intervensi dalam berpolitik bahkan mewarnai berbagai opini yang berkembang di publik.
Sebagai warga negara Indonesia yang juga kebetulan lahir dari rahim keluarga NU, saya tentunya agak risih dengan berita yang dimunculkan akhir-akhir ini. Bagaimana marwah seorang Kiyai dipermainkan, bahkan didegradasi di publik akibat kekecewaan segelintir oknum pendukung cawapres yang gagal.
NU Harus Tetap Bekerja
Ditengah polemik yang saat ini sedang berkembang, setidaknya ada beberapa catatan penting untuk warga NU yang ada di seluruh penjuru Indonesia. Pertama, NU sebagai organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia harus tetap fokus pada visi dan misi yang sejak awal berdiri sudah ada, yakni sebagai pilar penjaga keutuhan dan kesatuan negara republik Indonesia.
Para pengurus pusat, wilayah, daerah, sampai pada ranting-ranting harus tetap bekerja sesuai dengan bidang dan keahliannya masing-masing. Hiruk pikuk politik sejatinya memang tak bisa dihindarkan, apalagi mengingat NU memiliki kuantitas dan kualitas anggota dan kader yang sangat besar. Namun, yang perlu diingat adalah bagaimana membawa marwah organisasi ini tetap besar dengan kembali melakukan kerja-kerja kemasyarakatan.
Kedua, sebagai barometer pergerakan organisasi Islam di Indonesia, NU tentunya memiliki agenda-agenda sosial yang sangat banyak dan harus tetap berjalan. Dibidang pendidikan misalnya, NU harus terus bergerak untuk memajukan sumber daya manusia Indonesia dalam menghadapi tantangan kedepan; bonus demografi, revolusi industri 4.0, perkembangan teknologi, dan lain sebagainya. Ini bukan hanya pekerjaan pemerintah, tapi juga NU sebagai organisasi yang memiliki orientasi kemasyarakatan. NU harus aktif mendorong para kader, pengurus, anggota, dan simpatisannya untuk mengembangkan kualitas dan kapabilitas sumber daya manusia Indonesia demi kemajuan bangsa.
Ketiga, masyarakat dan warga NU di seluruh Indonesia harus tetap solid dalam menanggapi persoalan yang akhir-akhir ini terjadi. Cita-cita para sesepuh, ulama dan umara, kiyai-kiyai pendiri NU, harus tetap dijaga, dirawat, dan diimplementasikan demi kemajuan bangsa dan kesejahteraan sosial. Jangan hanya karena sekecil persoalan politik, NU melupakan cita-cita perjuangan para pendahulu. Berbagai persoalan yang saat ini terjadi di masyarakat harus menjadi basis pergerakan NU dalam rangka mencapai cita-cita kemerdekaan, dalam rangka membangun Indonesia yang unggul dan gemilang, dalam rangka menjadikan Indonesia sebagai negara yang maju dan mendunia.
Maka dari itu, melalui tulisan kecil ini, sebagai warga NU yang mungkin tak setenar yang lainnya, yang mungkin tak sebeken yang lainnya, saya ingin mengajak semua yang mengaku kader, anggota, dan bagian dari NU untuk terus menjaga soliditas demi perjuangan dan cita-cita para pendahulu. Jangan sampai, hanya karena politik, kita mau di adu domba. Semuanya harus bersatu, semuanya harus saling bergandengan tangan dalam menghadapi tantangan untuk memajukan bangsa Indonesia ke depan.
Karena NU bukan untuk NU, tapi NU untuk Indonesia!
Abdul Hafiz Maulana,