Lihat ke Halaman Asli

Hafizh Zulmar

Mahasiswa

Mosi Integral: Buah Pemikiran Mohammad Natsir dalam Menghadapi Ancaman Disintegrasi Bangsa

Diperbarui: 27 Juli 2021   19:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: althistory.fandom.com

Bagaikan sayur tanpa garam, sejatinya tidak sempurna apabila membicarakan negara Indonesia tanpa Mohammad Natsir (1908-1993). Beliau bukan hanya seorang tokoh pemikir politik Islam, tetapi juga seorang ulama, birokrat, intelektual, politisi, penulis, pelobi andal, dan seorang pejuang yang tidak bisa dilepaskan dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia. 

Walapun tidak sepopuler Soekarno dan Hatta yang begitu membekas dalam memori rakyat Indonesia sebagai tokoh proklamator, nyatanya Natsir memiliki peranan besar terhadap keutuhan bangsa Indonesia lewat pidato bersejarahnya di depan anggota parlemen yang kemudian melahirkan "Mosi Integral". 

Mosi ini pada perjalanannya berhasil menyelamatkan bangsa Indonesia dari ancaman perpecahan dan menjadi tonggak awal terbentuknya konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karenanya ulasan mengenai pemikiran tokoh ini sejatinya menarik untuk dibahas, karena Natsir yang menjadi tokoh partai Masyumi dan terkenal dengan pemikiran Islam modernis ternyata secara tersirat menghasilkan sisi nasionalis yang terimplementasi dengan konkrit.

Berbicara mengenai pemikiran politik Natsir, kaitannya tak lepas dari latar belakang pemikiran beliau yang banyak dipengaruhi oleh lingkungan sosio-kultural di tempat kelahirannya maupun di tempat lain yang pernah beliau singgahi. Alahan Panjang di Sumatera Barat, tempat beliau dilahirkan merupakan kota yang mendapat pengaruh gagasan puritanisme kaum Padri.

Pada saat itu, di daerah asalnya terdapat sebuah kebiasaan untuk mengajarkan seorang anak agar hidup mandiri dan menghayati nilai dasar keislaman yang bersifat puritan, dengan menyesuaikan adat yang ada dan tidak melalui surau-surau. Kondisi sosial masyarakat Minangkabau inilah yang membuat dirinya sejak muda telah tersosialisasi nilai-nilai dan gagasan pembaruan Islam yang tidak bersifat konservatif (Gufron, 1991:52).

Semenjak menetap di Bandung untuk menempuh pendidikan di Algemeene Middelbare School (AMS) pada tahun 1927, pengetahuan beliau semakin berkembang pesat. 

AMS menjadi menjadi wadah Natsir dalam mempelajari pengetahuan klasik Barat, disana ia banyak mempelajari pengetahuan Latin dan Yunani yang syarat dengan gagasan modern seperti demokrasi, nasionalisme, dan republik. Pengetahuan inilah yang dalam perjalannya banyak mempengaruhi pemikiran beliau. 

Selain berfokus pada pendidikan formal, Natsir juga banyak belajar ilmu keagamaan dan politik dengan sejumlah tokoh-tokoh pergerakan. Dalam hal ini beliau memiliki hubungan personal yang cukup intens dengan Ahmad Hassan, seorang tokoh utama Organisasi Persatuan Islam (Persis) di Bandung. Melalui interaksinya dengan Hassan, Natsir banyak mendapatkan pandangan mengenai ajaran Islam yang berkaitan dengan persoalan masyarakat pada masa itu, sudut pandang politik Islam, permasalahan pergerakan nasional, dan konsep kemerdekaan (Gufron, 1991:54).

Latar belakang kondisi sosio-kultural dan pendidikan inilah yang kemudian berpadu membentuk pola pemikiran politik Islam Natsir yang cenderung bersifat modernis. 

Dalam perkembangannya beliau semacam merelevansikan antara Islam dengan demokrasi dan Islam dengan nasionalisme. Masa kecil yang penuh sosialisasi akan nilai-nilai pembaruan Islam dan latar belakang pendidikan modern pada saat itu membuatnya tumbuh sebagai salah satu intelektual muslim yang akrab dengan wacana pemikiran, baik pemikiran Islam sendiri, ataupun pemikiran Timur dan Barat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline