Tokoh Prabu Siliwangi selalu menjadi bahan penelitian sejarah hingga saat ini untuk memahami kepribadiannya dan pesan moral luhur yang ditinggalkannya. Beliau merupakan raja kerajaan Pakuan Pajajaran yang mencapai masa keemasannya. Menjelang akhir masa pemerintahannya, Islam mulai masuk ke tanah Priangan.
Ajaran-ajarannya khususnya di bidang militer menjadi sumber inspirasi strategi militer di zaman modern. Menurut buku "Siliwangi Masa ke Masa" yang ditulis oleh sekelompok sejarawan Kodam Siliwangi, Prabu Siliwangi digambarkan sebagai berikut:
Prabu Niskala Wastukancana atau Prabu Wangi memerintah Kawali-Galuh di Priangan Timur. . Prabu Wang dinobatkan menjadi raja di usianya yang masih sangat muda. Masa pemerintahannya berlangsung selama 104 tahun, yaitu dari tahun 1363 hingga tahun 1467. Prasasti Kawal menyebutkan bahwa masa pemerintahan Prabu Niskala Wastukancana mencapai masa kejayaan dan kemakmuran serta mempunyai istana bernama Surawisesa.
Oleh karena itu, Prabu sangat terkenal di kalangan masyarakat Wangi. Rahiyang Dewa Niskala, putra Prabu Niskala Wastukancana dan ayah Prabu Siliwang, tidak banyak dikenal baik dalam babad, pidato maupun puisi. Namun cucu Prabu Wang, Prabu Siliwangi, selalu menjadi tokoh protagonis dalam berbagai cerita. Dengan demikian nama Prabu Siliwang tersebar luas dan dikenal dikalangan masyarakat.
Naskah Carita Parahiyangan menyebutkan penerus Prabu Wang yang terkenal sebagai tokoh kedua kerajaan Pajajaran adalah Ratu Purana, Prabu Guru Dewataprana, Ratu Jayadewa, Sri Baduga Maharaja dan lain-lain. Mereka memerintah Pakuan Pajajaran selama 39 tahun (1474-1513), khususnya di kawasan Priangan Barat, wilayah Bogor.
Prabu Siliwang mempunyai istri yang beragama Islam, Subang Larang. Prabu Siliwang mempunyai anak-anak dari pernikahannya seperti Walalusang, Rara Santang, Rajasangara dan lain-lain yang semuanya masuk Islam. Guru Muslim Ampara Jat Syekh Datuk Kahfi menyebut Wapanjangsang dengan sebutan Ki Samadullah. Pada tahun 1445, Ki Samadullah mendirikan pemukiman Cirebonlarang atau Cirebonpasisiri di hutan pantai, yang kemudian diperintah oleh Ki Danusela.
Usai menunaikan ibadah haji, Walalusang diberi gelar Imani oleh gurunya di Mekkah, Haji Abdullah. Walalusang pun menikah dengan putri Ki Danusela, Renta Riris (Kancanalarang). Sepeninggal Ki Danusela, Walalusang menggantikannya sebagai kepala Cirebonlarang. Wapanjangsang membangun Istana Rakyat dengan bantuan dana dari kakeknya Ki Gedeng Tapa. Sri Baduga bahkan memberikan restunya dengan mengutus Ki Jagabaya untuk menyampaikan tanda kekuasaan dan memberi gelar pada Walalusang yaitu Sri Mangana.
Syarif Hidayat, putra Rara Santang atau cucu Prabu Siliwang, datang dan menetap di Cirebon dan kemudian menjadi guru agama Islam menggantikan mendiang Syekh Datuk Kahfi. Walalusang menobatkannya sebagai Tumenggung Cirebon. Ketika Syarif Hidayat menjadi tumenggung, Islam mencapai Kuningan dan Laragung. Pada tahun 1482, Syarif Hidayat diangkat menjadi raja Cirebon dengan gelar Susuhunan Jati.
Dapat dipahami bahwa berakhirnya masa pemerintahan Raja Siliwang berdekatan dengan dimulainya perkembangan Islam di Tanah Priangan. Ia bisa dikatakan ikut mendukung perkembangan dakwah Islam sendiri dengan menikah dengan seorang bangsawan Muslim Subang Larang dan bersikap toleran. Prabu Siliwangi pun membiarkan anak-anaknya dari Subang Larang memeluk agama seperti ibu mereka, suatu sikap yang sulit ditemukan pada masanya.
Menurut Kelompok Sejarah Kodam Siliwangi (1968), masa pemerintahan Prabu Siliwang berlangsung pada tahun 1474 hingga tahun 1513. Namun menurut Sulyana WH dkk masa tersebut antara tahun 1482 hingga tahun 1521. terdapat perbedaan pada masa pemerintahan tersebut, Rata-rata sebagian besar ahli sejarah sepakat bahwa kekuasaan raja Siliwangi pada masa itu terpusat di Pakuan Pajajaran yang terletak di wilayah Priangan Barat.
Mungkin karena kemiripan Prabu Wangi Kawali Galuh dengan Sri Badu, maka ia disebut sebagai "pengikut Prabu Wangi" atau Siliwangi di wilayah Bogor dan sekitarnya. Keagungan dan kejayaan yang dialami Pajajaran, sebagaimana K.F. Holle, 1969, walaupun hanya dijelaskan sekilas, namun kita dapat memahami suasana masyarakat masa Pajajaran. Kalau kita cermati, pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi hampir tidak disangka-sangka karena begitu tertibnya mulai dari sistem administrasi, sistem keagamaan, astronomi dan topografi, peperangan, kemampuan bahasa asing hingga kerajinan tangan seperti batik (Jarahdam, 1968). : 8). ).