Lihat ke Halaman Asli

Hafizh MuhammadRozaan

Mahasiswa Teknik Infrastruktur Sipil ITS

Membangun Nalar Kritis sebagai Mahasiswa

Diperbarui: 26 Juli 2021   21:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Darurat nalar kritis jauh hari sudah menjadi perbincangan serius pendidikan di belahan dunia mana pun. Bahkan, sejak 1942, nalar kritis menjadi tujuan utama dalam pendidikan. Bagi Mahasiswa, ketidakmampuan menalar kritis sangat berbahaya (Premana, 2010). Jangankan terhadap persoalan yang kompleks, Mahasiswa akan sukar mengolah informasi meski pada level sangat sederhana sekalipun. Kegagalan menalar kritis juga membuat Mahasiswa mudah terdistorsi lantaran pijakan logikanya tidak kukuh.

 Itu disebabkan pengetahuan yang dimiliki Mahasiswa belum cukup untuk menilai dan menyaring informasi. Akibatnya muncul salah pengertian, perhitungan, dan salah mengambil keputusan. Problem kebekuan nalar kritis, di masa akan datang, banyak memicu masalah. Pendidikan yang gagal melatih Mahasiswa bernalar kritis akan menghasilkan pribadi yang sukar berdialog antarkelompok berbeda --- karena yang ada hanya satu ide. Dengan begitu, ruang gerak nalarnya menjadi sempit dan kerdil.

Menurut Gerhard (2016) nalar kritis adalah sebagai suatu proses kompleks yang melibatkan penerimaan dan penguasaan data, analisis data, dan evaluasi data dengan mempertimbangkan aspek kualitatif dan kuantitatif serta melakukan seleksi atau membuat keputusan berdasarkan hasil evaluasi. Absennya nalar kritis bukan tidak mungkin membuat bangsa ini seperti wayang. Ia hanya akan mengikuti kemauan dalang tanpa mampu berpikir dan memiliki kesadaran serta kemerdekaan diri. Jauh hari, Freire (2018) telah mengusung pentingnya bernalar kritis.

Lalu bagaimana cara bernalar kritis? Kita ambil contoh yang sedang hangat sekarang yaitu wawancara mantan anak bandar narkoba ayang pada 2016 lalu dihuku mati, Fikri namanya, dia adalah anak Freddy Budiman. Disini Fikri menyuarakan keresahannya mengenai hal hal yang selama ini ia pikirkan, karena ina menganngap ada sesuatu yang tidak benar dan harus diubah, termasuk pandangan masyarakat terhadap ayahnya. 

Ia memiliki semacam pemikiran bahwa seharusnya hukuman mati tidak diterapkan di Indonesia, alasannya adalah mengenai kemanusiaan, lalu Ayahnya yang sudah tobat, lalu ia berkata lagi bahwa ketika ayahnya diberikan hukuman mati sekalipun narkoba tetap akan ada di Indonesia dan malah semakin banyak, jadi ia berpikir bahwa memberikan hukuman mati kepada ayahnya adalah hal yang percuma. Yang terakhir adalah, ia berkata bahwa hukuman mati di Indonesia pemberiannya masih abu-abu, dikarenakan masih banyak cobtoh kasus kejahatan lain yang lebih pantas untuk diberikan hukuman mati, korupsi contohnya.

Yang dilakukan oleh Fikri adalah salah satu contoh berpikir kritis, berpikir bahwa ada hal hal yang janggal dibalik kasus ayahnya. Berpikir kritis juga dimaknai sebagai satu dari banyak skill yang sangat dibutuhkan saat ini baik untuk mahasiswa maupun masyarakat umum karena perlu untuk menganalisis berbagai informasi yang kita dapat untuk memecahkan berbagai permasalahan yang ada.

Mengapa berpikir kritis penting? Bagaimana posisi berpikir kritis dalam diri kita?

"There is nothing more Islamic than critical thingking"

Quotes tersebut berasal dari Tariq Ramadan yang merupakan cucu dari Hasal Al Bana yang merupakan sosok ideolog dari Rumah Kepemimpinan. Jika dipahami, quotes ini sebenarnya sangat menampar, serinng kita mendengar bahwa orang yang kritis cenderung liberal, sekuler, berpikir bebas nilai, yang pada akhirnya membuat orang yang berpikiran kritis mendapatkan kritikan balik dari orang lain. Orang yang berpikiran kritis eringkali dituduh rewel atau resek, bahkan tak jarang mendapat kalimat seperti "ah gausah mikir kaya gitu, mikir yang biasa biasa aja deh". Mengapa? Karena terkadang apa yang kita kritisi melawan pikiran yang orang mayoritas pikirkan.

Nalar kritis yang tersemai melalui pendidikan paling tidak akan mengajari dan melatih Mahasiswa mengurai, memecahkan, dan menemukan solusi atas persoalan mereka. Jika belajar sejarah bahwa para bapak bangsa sudah mengarusutamakan nalar kritis dalam pendidikan, mengapa kita saat ini tidak melakukan hal yang sama?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline