Lihat ke Halaman Asli

Hafiz Fatah

Karyawan

Sedikit Usaha Mengurangi Keberpihakan Wasit di Liga 2

Diperbarui: 27 April 2018   00:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Doddy Vladimir/ Tribun Pekanbaru

Pekan ini Liga 2 mulai kembali bergulir. PSIR telah langsung mendapat hukuman penalti yang meragukan ketika bertandang ke Pekanbaru menantang tuan rumah PSPS. 

Anggota tim PSIR yakin benar bahwa pelanggaran yang terjadi masih berada di luar kotak penalti. Saya pasti punya bias karena mendukung PSIR, namun kejadian ini telah mengindikasikan adanya keberpihakan wasit terhadap tim tuan rumah. Penyakit lama yang membuat agak malas berharap adanya perbaikan dari pelaksanaan liga di negeri ini.

Di Liga 1, kejadian serupa lebih jarang terjadi sebab banyaknya laga yang ditayangkan langsung di televisi. Namun di Liga 2, kesalahan-kesalahan wasit yang merusak kenikmatan menyimak pertandingan olahraga benar-benar banal, kita tak lagi perlu berdebat apakah itu kesalahan yang disengaja atau bukan. 

Jarang tim-tim tamu yang dapat mencuri poin di kandang lawan karena kerap dirugikan keputusan wasit. Mulai dari permainan kasar tim tuan rumah yang tak dihukum sebagai pelanggaran hingga pemberian penalti di menit-menit akhir saat tim tuan rumah sudah habis akal untuk mencetak gol dengan cara lain. Cukup dengan sedikit diving konyol atau dengan mengklaim handsball lawan di kotak penalti, 70 persen peluang penalti akan diberikan.

Namun entahlah, sudah lama saya tak menyimak perjalanan PSIR dengan seksama. Pengalaman menyaksikan di stadion Krida Rembang pada tahun-tahun ketika PSIR masih diperkuat Hadi Surento mendominasi ingatan. 

Tapi tentu belum jauh terlewat ketika tahun lalu di pertandingan melawan Persis di Manahan Solo semua penonton bola selain suporter Solo sepakat pemain-pemain Persis memeragakan gerakan kungfu di lapangan hijau dan ketika PSS Sleman dihukum penalti di Cilegon sebab bola mengenai dada salah seorang pemainnya.

Penalti PSPS di laga pembuka membuat saya kembali skeptis pada kompetisi yang digadang-gadang bermuara pada prestasi kesebelasan nasional, menumbuhkan pesimisme pada perhelatan yang diselenggarakan secara meriah di banyak kota di Indonesia, tempat pemain lokal dan pemain muda menempa bakat, mengejar prestasi, serta tempat kelompok-kelompok suporter beraktualisasi diri.

 Analis tim nasional U-19 di Piala AFF 2017 Rochmat Setiawan pernah menuliskan di akun twitternya, keuntungan non teknis yang sering didapatkan tim tuan rumah dalam kompetisi dalam negeri punya dampak langsung pada performa timnas yang rapuh ketika bermain tandang. Pemain mudah terpancing emosi hingga diusir keluar lapangan karena permainan kasar serupa tidak pernah dihukum di kompetisi lokal.

Namun demikian, dewasa ini ada secercah harapan seiring dengan kemajuan teknologi yang memudahkan fans mendapat informasi dan menyuarakan kritik. Fans dapat menyorot kesalahan wasit, dengan harapan komite wasit PSSI, entah melalui laporan klub atau dengan sendirinya mengevaluasi performa wasit. 

Jika terbukti kualitas kepemimpinannya buruk, seorang wasit bisa diskors seperti pengadil yang memimpin laga Bali United vs PSMS Medan beberapa waktu lalu. 

Harapannya ke depan, wasit akan lebih baik dalam membuat keputusan dalam sebuah pertandingan. Hanya saja, suara protes suporter juga mesti disertai rasa keadilan dengan tidak berharap wasit memenangkan timnya dengan cara murahan ketika bertanding. Dengan demikian, harapan untuk memiliki liga yang sehat dapat terwujud setahap demi setahap.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline