Lihat ke Halaman Asli

Transformasi Rokok Jadi "Kebutuhan" #%&^$!@ Aneh??

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dipagi buta "pak Sunaryo" sudah bangun, seperti biasa beliau mempersiapkan kebutuhan dinasnya disetiap hari, maklum sebagai pegawai bawahan kantor desa, beliau harus selalu datang lebih awal dari atasannya. Hawa dingin yang masuk tak mengurungkan niatnya untuk mandi dan mulai bersantai sejenak sambil disuguhi sarapan oleh sang istri tercinta. Pisang goreng di campur hangatnya kopi hitam perlahan bergantian digemgamnya, tak lama terasa ada yang kurang dihatinya, ohh iyah ini dia, "buu, tukok'ke rokok", ra enak bar mangan ora ngrokok.

Sepenggal cerita diatas mungkin bisa menjadi referensi tema yang diangkat dari topik pembahasan kali ini, dari mana judulnya kebutuhan manusia bisa berubah menjadi begitu rumit untuk sedikit diberi penjelasan, Sandang, Pangan, Papan, kini harus berdampingan dengan "Rokok", narasi besar apa yang telah terjadi ???.. Jika kita perhatikan dari sejarah yang memberikan alur cerita budaya, Rokok pada awalnya hanya dijadikan sebagai alat bantu pemujaan terhadap para dewa dimasa zaman nenek moyang bangsa kita, tetapi sekarang mampu ambil bagian dalam sendi-sendi kehidupan entah merenggut banyak hati manusia dielemen highclass sampai kaum-kaum proletar , rokok mampu mengambil peran dalam kehidupan.

Dunia ketiga yang telah jauh meninggalkan teknologi kuda lari menjadi kuda-kuda besi, banyak sekali hal yang menunjang dan berperan aktif dalam kemudahan informasi apapun didunia ini. Diantaranya publikasi rokok yang begitu gencar dimedia cetak dan elektronik lainya seolah menghegemoni pemikiran karna senantiasa berlalu lalang dimata-mata mereka. Mungkin memang dibalik semua ini terselip kebaikan yang ada dari tiap-tiap sebatang rokok, tetapi dibalik itu semua telah mengantri masalah-masalah yang akan terjadi.

Orang yang terlibat dalam lingkaran distribusi konsumerisme rokok ini tidak hanya diperankan oleh orang dewasa, saat ini rokok sudah menyentuh anak-anak yang belum bisa menafkahi dirinya sendiri, banyak kasus dimedia yang menyebutkan ketergantungan mereka terhadap rokok sudah memasuki tahap klimaks, secara psikologi, mereka tidak mampu melepas kebiasaan yang didapat secara tidak langsung, karna rokok dianjurkan dikonsumsi setelah tubuhnya benar-benar siap menerima dampak buruk yang harus dibentengi dengan maksimal dan finansial yang harus menyokong karna harga dari sebungkus rokok dirata-rata sama dengan dia membeli permen bungkusan dengan isi yang banyak. Sungguh pilihan yang sangad berat dilakukan jika ia lebih bisa "memahami" dampak dan manfaatnya.

Jika kita melihat data pemerintah tentang pendapatan pajak dari rokok, tentu nominal yang didapat sangat membantu dalam hal  pembangunan infrastruktur bangsa ini, itu menandakan bahwa minat dari rokok itu sendiri yang begitu tinggi melebihi kebutuhan konsumsi pembelian minuman kemasan, dan pemerintah sepertinya hanya bisa membisu karna kebijakan yang dilakukan sangat berat diambil keputusannya, melarang atau melegalkan dengan tanpa batasan.

Setelah sempat menemui 10 orang perokok pria dan wanita, dan sedikit mencuri-curi informasi dari mereka tentang pilihan untuk merokok, sempat menemukan jawaban yang simpel dan kurang kuat argument yang mendasar, dari 10 orang pemuda, 8 diantaranya mengatakan "sebenarnya alasan-alasan mereka merokok berawal dari coba-coba, ikut-ikutan teman, biar terlihat lebih dewasa, sampai pada kebiasaan yang sudah merasuk dikepala mereka, habis makan "kalo ngga ngroko ngga enak" tuturnya, dan mereka lebih memilih tidak makan dari pada tidak merokok disatu hari itu, entah motivasi apa yang diberikan oleh rokok jika begitu yakinnya mereka memberikan jawaban itu. 2 diantaranya lagi menjawab, "merokok kalo lagi iseng" !!,, "emangnya tinggal dikuburan iseng". Dan ketika ditanyakan tampak yang akan terjadi dari orang yang merokok mereka tahu dan mengerti pastinya dari informasi yang ada dibalik kemasannya itu, dan jawaban yang disampaikan lebih punya nilai argument dari pada jawaban alasan mereka merokok.

Hal ini bisa dipahami bahwa Transformasi rokok yang masuk dalam katagori suatu kebutuhan itu mendasar pada kebiasaan seseorang yang mula-mula mencoba merokok tanpa bisa diimbangi penggunannya karna zat nikotin yang terkandung didalamnya dapat merubah mainsheet perokok sehingga rokok menjadi barang wajib dalam kesehariannya, itu jika sipengguna mulai sering menggunakannya. Lalu dari segi lingkungan yang terjadi dikehidupannya serta disekitar tempat dia tinggal, ada suatu energi yang mampu mengkonstruk orang yang awalnya tidak merokok, menjadi perokok, dan terus berevolusi menjadi perokok berat, sehingga berubahlah fungsi rokok.

Mungkin jika kita hanya melihat dari kaca mata pribadi kesimpulan dari rokok akan didapat argumentasi yang berbeda-beda, tetapi jika kita runcingkan pertanyaan tentang rokok yang berubah fungsi dari yang sifatnya mengisi waktu luang, atau sekedar menghilangkan rasa asam dimulut, kini telah berubah menjadi suatu kebutuhan pokok yang harus bergandengan dengan keseharian si perokok, ini menjadi menarik jika kita bisa menyamaratakan persepsi kita, atau itu pun masih menjadi ambigu diantara kita ??.. Saya pun termasuk seorang perokok yang tidak tahu sejak kapan merubah kebiasaan ini menjadi suatu kebutuhan. Padahal kita sama-sama tahu bahwa banyak sebab akibat dari ini semua, termasuk orang-orang yang ada disekeliling kita yang kena imbasnya, serta entah untuk diri kita yang begitu banyak masalahnya, yang jelas orang lebih memilih mengkonsumsi rokok, dari pada permen. Dan pemerintah lebih tertarik membiarkan dampak buruk rokok dari pada permen.

Semoga para pembuat rokok dan para penikmatnya serta pihak-pihak lain bisa "memporsikan" rokok ini dengan sebaik-baiknya, karna kita memahami, hidup berdiri diatas sebuah pilihan yang pasti

Best Regars,
"Kaki-kaki kecil perubahan"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline