Matahari perlahan tenggelam di ufuk barat, menyisakan cahaya keemasan yang menyelimuti Pondok Pesantren Budi Utomo. Di sini, di balik pagar yang kokoh, puluhan santri tengah mengaji dengan penuh khidmat. Namun, bagi Fitri, sore itu menjadi awal dari kenangan yang tak akan pernah terlupakan.
Fitri adalah seorang santri baru, yang masih beradaptasi dengan kehidupan di pesantren. Ia berasal dari kota besar dan terbiasa dengan kebebasan yang berbeda dari aturan ketat pesantren. Awalnya, fitri merasa terasing. Ia merindukan keluarganya, teman-temannya, dan kehidupan lamanya.
Namun, segala sesuatunya berubah ketika ia bertemu dengan dea, seorang santri senior yang bijak dan ramah. Dea selalu menyemangati fitri, membantunya memahami pelajaran, dan mengajaknya berbaur dengan santri lainnya. Perlahan, Dian mulai merasa nyaman dan menikmati hari-harinya di Budi Utomo.
Suatu hari, pesantren mengadakan acara tahunan, yaitu "Pekan Olahraga dan Seni Santri". Fitri, yang memiliki bakat dalam seni lukis, diajak oleh dea untuk ikut serta dalam lomba melukis. Awalnya, fitri ragu karena belum pernah mengikuti lomba di lingkungan pesantren, namun berkat dukungan dea dan teman-teman lainnya, ia pun memberanikan diri.
Selama persiapan lomba, fitri sering melukis di bawah pohon besar di halaman pesantren. Di sana, ia menemukan ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Lukisan yang ia buat menggambarkan suasana pesantren dengan segala keindahannya: para santri yang mengaji, guru-guru yang membimbing dengan penuh kasih, dan alam sekitar yang menyejukkan hati.
Pada hari perlombaan, fitri merasa gugup. Namun, ketika ia melihat dea dan teman-temannya memberi dukungan dari pinggir lapangan, keberanian dan semangatnya kembali bangkit. Ia melukis dengan sepenuh hati, menuangkan seluruh perasaannya ke dalam kanvas.
Saat pengumuman pemenang, jantung fitri berdegup kencang. Ketika namanya disebut sebagai juara pertama, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. Dea dan teman-teman lainnya berlari menghampirinya, memeluknya dengan hangat. Di tengah kebahagiaan itu, fitri menyadari bahwa Pondok Pesantren Budi Utomo telah menjadi rumah kedua baginya.
Kenangan itu terus terpatri dalam hati fitri. Kenangan tentang persahabatan, dukungan, dan cinta kasih yang ia temukan di tempat yang awalnya terasa asing. Bagi fitri, pesantren bukan lagi sekadar tempat belajar agama, tetapi juga tempat menemukan keluarga baru dan menjalani kehidupan dengan penuh makna.
Kenangan yang tak akan pernah terlupakan di Pondok Pesantren Budi Utomo akan selalu menjadi bagian dari hidup fitri, mengajarkannya tentang arti sebenarnya dari kebersamaan, persahabatan, dan cinta kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H