Belum lekang dari ingatan kita, tatkala Sukmawati putri Soekarno sang Proklamator, menyatir hijab dan azan dalam diksi puisinya. Tentu saja ulahnya ini mendapat protes banyak kalangan dan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
Sukmawati memperbandingkan mana yang lebih elok antara hijab dan azan yang ia pandang sebagai budaya Arab/Islam dengan konde dan kidung yang ia pandang sebagai murni budaya Indonesia.
Buntutnya, Sukmawati mendapatkan protes dan kecaman baik disampaikan secara lisan maupun tulisan. Sampai-sampak ia harus meminta maaf kepada khalayak yang merasa tersinggung akan puisi itu.
Belum lagi setahun berlalu, kini Sukmawati kembali menyinggung "simbol-simbol" agama Islam dalam pidatonya. Dalam sebuah tayangan, tampak Sukmawati tengah berpidato dan menyinggung sedikit masalah radikalisme dan terorisme di Indonesia.
Menurut Sukmawati, para radikalis dan teroris ini direkrut dengan cara yang beragam salah satunya dengan memprovokasi, "mana lebih baik pancasila dari alqur'an?" Itulah salah satu contoh kalimat provokasi menurut Sukmawati, yang dijadikan alat untuk menarik simpati dan memperdaya seseorang agar menjadi sosok radikalis atau menjadi teroris.
Nah, untuk menanggapi pernyataan kaum radikal "mana lebih baik antara pancasila dan Alqur'an?" Sukmawati kembali bertanya kepada para hadirin, "sekarang saya mau tanya semua, yang berjuang di abad 20 itu Yang Mulia Nabi Muhammad apa Ir Sukarno, untuk kemerdekaan? Saya minta jawaban, silakan siapa yang mau jawab berdiri, jawab pertanyaan Ibu ini,"pungkasnya.
Tentu saja ini bukanlah ketidaksengajaan, karena ia melakukan hal yang sama secara berulang. Sukmawati kembali memperbandingkan antara "simbol-simbol" Islam dengan simbol-simbol yang ia anggap sebagai simbol bangsa yaitu Azan dan kidung, hijab dan konde, serta nabi Muhammad dan Soekarno dalam konteks perjuangan kemerdekaan.
Cara berpikir seperti ini sangatlah keliru dan tidak logis. Sukmawati menganggap bahwa simbol-simbol Islam bukan sebagai simbol budaya bangsa. Padahal sejatinya, simbol-simbol Islam sudah melebur dalam bingkai budaya bangsa.
Misalnya saja, dari tradisi Azan, kita tidak akan mendapati bunyi pentongan dan beduk menjelang azan di Timur Tengah, atau kita akan mendengar irama yang khas ketika azan dikumandangkan. Bagaimana kita mau membandingkan antara sistem budaya dengan sub dari sub sistem yang ada di dalamnya.
Apalagi jika memperbandingkan antara Soekarno dan Nabi Muhammad dalam konteks perjuangan kemerdekaan bangsa Indoneska. Padahal, dua tokoh ini hidup pada waktu dan tempat yang jauh berbeda. Terpisah dalam waktu sekitar 13 abad atau seribu tiga ratus tahun lamanya.